BANJARMASIN - Penyaluran tabung gas 3 kilogram terus dihantui kelangkaan dan lonjakan harga. Demi memutus lingkaran setan ini, Hiswana Migas mengajukan dua solusi.
Pada jangka pendek, pengawasan harus diperketat. Sementara untuk jangka panjang, disparitas harga harus dihapuskan.
"Saya sudah sangat-sangat sering mendengar aduan begini," keluh Ketua Hiswana Migas Kalsel, H Saibani, kemarin (25/1).
Harga tabung melon kembali tak terkontrol. Pemandangan antrean mengular di pangkalan kembali tampak.
Namun, Saibani sangsi masalah ini dipicu aksi penimbunan. Apalagi ulah segelintir mafia.
"Sebab, jumlah tabung yang sampai ke tangan pengecer itu kecil. Kurang tepat jika disebut penimbunan. Murni masalah ekonomi. Barangnya murah, setoknya terbatas, sedangkan peminatnya banyak," jelasnya.
Dalam skema penyaluran elpiji bersubsidi, pangkalan adalah mata rantai terakhir. Pangkalan menjualnya ke tangan konsumen. Tapi juga melayani pengecer yang menjual ulang dengan harga lebih tinggi. Wujud pengecer ini misalkan pemilik warung kelontongan.
Benar, pangkalan nakal telah disanksi Pertamina. Bahkan ada yang digerebek polisi. Tapi dampaknya cenderung bersifat sementara. Sebelum pangkalan lain ikut tergoda menirunya.
"Nah, Hiswana tidak memiliki kemampuan untuk mengawasi sampai level eceran," tukasnya.
Saibani berharap pemerintah turun tangan. Camat, lurah, RT, dan bahkan Satpol PP ikut dikerahkan untuk mengawasi pangkalan.
Saibani juga meminta masyarakat insaf. Tabung melon merupakan hak orang miskin.
"Ini hak warga yang berpenghasilan Rp1,5 juta per bulan. Kenyataannya, yang punya sepeda motor dan mobil juga ikut membeli," cecarnya.
Kian runyam karena gas bersubsidi bocor ke tangan pengusaha. Pemilik warung makan dan pedagang kaki lima juga ikut menikmatinya.
Diingatkannya, masalah ini tak hanya terjadi di Kalsel. Tapi juga di provinsi lainnya. Artinya, ada akar masalah yang harus diurai pemerintah.
Dalam pandangannya, biangnya adalah disparitas harga. Selisih harga antara gas non subsidi dan bersubsidi disebutnya terlampau jauh.