• Senin, 22 Desember 2025

Matinya Demokrasi di Kampus Hijau

Photo Author
- Selasa, 29 Januari 2019 | 12:12 WIB

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Antasari didemo, 7 Mei 2018 lalu. Mahasiswa kesal melihat ulah segelintir dosen nakal. Ditambah toilet kampus yang mampat. Dampaknya, organisasi dibekukan dan sang koordinator unjuk rasa diskorsing. 

SENIN (20/1) malam, telepon orang tua Gusti Muhammad Thoriq Nugraha berdering. Panggilan itu singkat saja. Meminta keduanya berhadir di fakultas keesokan hari untuk urusan penting. Keduanya kemudian berkendara dari Martapura menuju Banjarmasin.

"Orang tua saya datang tepat waktu. Jam 9 pagi. Ternyata, pemanggilan untuk penyerahan surat skorsing. Ada dua lembar. Satu untuk saya, satu lagi untuk orang tua," kata Gusti.

Jumat (25/1) siang, Radar Banjarmasin menemui Gusti di sebuah kos mahasiswa di Jalan Mandastana. Tak jauh dari kampus UIN di Jalan Ahmad Yani kilometer 4,5. "Saya diskorsing selama setahun (dua semester)," imbuhnya.

Lahir di Banjarbaru pada 12 November 1998, Gusti bersama adik dan kedua orang tuanya kemudian pindah ke Kabupaten Banjar. Dia baru semester tiga. Kuliah di Jurusan Pendidikan Agama Islam FTK UIN Antasari.

"Kesehatan ibu sempat drop. Berhari-hari tidak beranjak dari kasur. Mereka tampak sangat terbebani," imbuhnya. Mengenakan kemeja licin tersetrika, Gusti berbicara dengan datar. Tanpa emosi apalagi drama.

Cerita ini bermula pada 7 Mei 2018 silam. Pagi itu, sekitar 20 mahasiswa berkumpul di depan fakultas. Mereka membawa spanduk protes dan melancarkan orasi. Ada dua tuntutan mahasiswa.

Pertama, dekan harus menindak segelintir dosen nakal yang jarang mengajar. Kedua, menuntut perbaikan fasilitas kampus. Sebut saja toilet mahasiswa yang mampat. Keran airnya juga kerap mati.

Gusti kebetulan adalah koordinator aksi. "Kami membawa bukti berupa foto-foto fotokopi absen dosen dan kondisi toilet fakultas," ujarnya. Dua wakil dekan menemui mahasiswa. Sempat tegang, adu mulut tak terhindarkan.

Puas menyampaikan aspirasi, menjelang siang mahasiswa membubarkan diri. "Sehabis itu santai saja. Kami kembali kuliah seperti biasa," imbuhnya. Bagi mahasiswa, masalah sudah selesai. Bagi kampus, tidaklah demikian.

Sepekan kemudian, Gusti menerima panggilan pertama. Dia diminta menghadap Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan, Syaiful Bahri Djamarrah. Syaiful menuding unjuk rasa ditunggangi LSISK (Lingkar Studi Ilmu Sosial dan Ilmu Kerakyatan).

LSISK pernah menyedot pemberitaan media pada September 2018 silam. Sejumlah aktivitasnya ditahan di Mapolresta Banjarmasin. Selepas aksi yang berujung ricuh di Gedung DPRD Kalsel.

Gusti memang dekat dengan LSISK. Tapi tudingan itu mengada-ada. "Sebab, aksi kami tanpa embel-embel organisasi. Apakah itu bendera atau seragam. Enggak ada," tampiknya.

Syaiful juga sesumbar telah mengantongi bukti kuat. Bahwa Gusti telah melecehkan dekan. Berdasarkan wawancara selama 40 menit dengan mahasiswa lain yang dinilai merupakan saksi atas sepak terjang Gusti.

Mata Gusti pun terbelalak. Ketika dihadapkan pada sepotong capture chatting di WhatsApp. "Di situ saya menghina pimpinan fakultas. Saya difitnah! Saya yakin 100 persen tak pernah menulis hal seperti itu," bantahnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: aqsha-Aqsha Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kabupaten Banjar Sumbang Kasus HIV Tertinggi di Kalsel

Jumat, 12 Desember 2025 | 11:10 WIB
X