BANJARMASIN - Bolehkah ibu-ibu majelis taklim menerima bingkisan kerudung dari caleg? Jawabannya tergantung dari wujud kerudung itu sendiri.
Bisa boleh, bisa pula dilarang. Pertanyaan ini mungkin terdengar menggelikan. Tapi nyatanya marak terjadi menjelang pemilu.
Pertanyaan itu disodorkan Komisioner Badan Pengawas Pemilu Kalsel, Erna Kasypiah.
Pendengarnya pun tersipu malu. Yakni puluhan perempuan yang mengikuti sosialisasi pengawasan partisipatif di Hotel Jelita Jalan Ahmad Yani kilometer 2, kemarin (27/2).
"Jika kerudung itu diembel-embeli logo partai atau nomor urut caleg, maka tergolong bahan kampanye. Sah-sah saja menerimanya. Tapi jika tidak, inilah yang rawan tersangkut praktik politik uang," jelasnya.
Bahan kampanye berbeda dengan alat peraga kampanye. Acuan lain adalah harga. Meskipun agak susah menaksirnya.
"Aturan menyatakan, harga bahan kampanye tidak boleh melampaui Rp60 ribu. Para ibu kan pasti bisa membedakan. Mana kerudung mahal dan murahan," imbuhnya.
Pelatihan ini hasil kerjasama Bawaslu dan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3). Perempuan muda dan tua dari lintas agama dan organisasi dikumpulkan.
"Personel kami terbatas. Kami menginginkan mereka sebagai mata dan telinga tambahan Bawaslu," kata Ketua Bawaslu Kalsel, Iwan Setiawan.
Mengapa harus perempuan? Iwan memandang perempuan lebih mudah untuk membaur ke tengah masyarakat.
"Kalau yang berbicara adalah perempuan, pendengarnya pasti lebih banyak," guyonnya.
Di sini dipaparkan apa saja yang tergolong pelanggaran. Bahkan tips untuk mengenali kecurangan pemilu. Tentu tak mudah bagi warga untuk melaporkannya. Sekalipun bagi seorang aktivis perempuan.
"Pelapor pasti memperoleh jaminan perlindungan saksi. Itu pasti! Yang agak takut-takut, berbesar hatilah. Kerahasiaan dan keselamatan pelapor dijamin negara, bukan oleh Bawaslu," tegas Iwan.
Salah seorang pembicara adalah Koordinator Program Gender Justice LK3, Mariatul Asiah.
"Politik masih dianggap barang lelaki. Sementara perempuan disuruh mengurusi rumah tangga saja," ujarnya.