“Tentu saja sangat menarik. Pemilih pun bisa menakar calon yang sesuai harapan mereka,” tambahnya.
Adanya kandidat lain yang bakal melawan petahana dibandingkan nantinya melawan kotak kosong, malah akan merugikan calon petahana. Dia memberi contoh Pilkada 2018 di Kota Makassar dimana calon petahana harus tumbang melawan kotak kosong. Tak hanya itu, kotak kosong juga hampir menang pada Pilkada di kabupaten Tapin.
Soal pecah kongsi antara Gerindra dengan petahana, Ani menyebut hal biasa dalam demokrasi. Terlebih para parpol tengah mencari figur terbaik yang bisa memenangkan Pilgub 2020.
“Ini menariknya, apalagi koalisi di tingkat pusat tak mempengaruhi,” tukasnya.
Ditambahkannya, berbicara head to head antar pendukung parpol pengusung dan pendukung saat Pilgub belum bisa diukur. Pasalnya yang bertarung adalah figur calon tersebut.
“Untuk diketahui, Pilkada di Kalsel faktor non parpol juga sangat dominan menentukan, berbeda dengan daerah lain,” sebut Ani.
Bahkan dalam konteks Pemilu 2019 lalu, tak bisa jadi acuan saat beberapa partai mendapatkan suara terbanyak. Di Pilgub 2020 tak bisa jadi acuan lagi. Sebab dalam konteks Kalsel, kalau dlihat dari calon yang ada, sentimen keyakinan juga tidak bisa lagi dijadikan alat meraup suara,” paparnya.
Buktinya, pada waktu Pileg lalu, meski meraup suara banyak untuk DPR RI, tapi tidak berkelindan dengan Pileg di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
“Jadi lagi-lagi dalam konteks Pilkada, tdk tergantung berapa banyak parpol yg mendukung, tapi bagaimana tim sukses yang dibentuk mampu mengkonsolidasikan sampai ke desa-desa,” tandasnya. (mof/bin/ema)