Hari ketiga menjalani karantina mandiri di rumah, dokter keluarga berdasarkan konsultasi pihak Dinas Kesehatan Banjarbaru dijadwalkan mengiktui tes PCR (polymerase chain reaction) dengan metode swab untuk memastikan hasil reaktif rapid. Karena antre terlalu lama dan jumlah pasien peserta tes terlalu banyak, sekitar 100 orang, akhirnya, dia memutuskan untuk tes mandiri (berbayar).
===============
Oleh: Syaharuddin
Ketua Jurusan Pendidikan IPS FKIP ULM Banjarmasin
===============
Untungnya, kantor tempat dia bekerja membantu semua biaya, yakni tes PCR/SWAB sebesar 2,5 juta kali dua dan rapid test Rp 400 ribu. Mahalnya biaya tes dapat dibayangkan jika hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengikutinya. Bagaimana dengan orang kelas menengah ke bawah, tentu sulit dijangkau.
Peserta tidak hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak, remaja dan juga orang tua. Saya berkesimpulan jika virus corona menyerang siapa saja, tidak pandang bulu, sehingga saya sarankan agar siapa saja kita agar tetap berhati-hati dalam beraktivitas. Mulai dari selalu cuci tangan setelah memegang “benda-benda” seperti ATM, tangga mal, pintu, dan lain-lain. Selalu cuci tangan sebelum makan dan minum. Ganti dan baju dan mandi setelah bepergian sebelum menemui keluarga. Membersihkan benda-benda yang sering dipegang dengan disinkfektan. Tetap di rumah jika tidak ada keperluan penting. Hindari kerumunan jika harus keluar rumah dan tetap memakai masker, apalagi jika sakit. Jaga imunitas dengan makan yang cukup gizi, bukan yang mahal, konsumsi vitamin atau herbal dan berolahraga secara teratur.
Tes hari ketiga gagal, dia menghubungi beberapa RS yang dapat melakukan tes PCR/SWAB. Akhirnya, dapat dijadwalkan di RS Bhayangkara Banjarmasin pada hari ke-6 karantina. Tes dilakukan dua hari berturut-turut. Silakan hitung sendiri biayanya. Saat antre tes, dia iseng bertanya ke petugas resepsionis berapa orang tiap hari yang mengikuti tes di sana. Ada 50 orang ternyata.
Peserta dan tujuan tes bermacam-macam. Mulai ingin mengetahui hasil rapid test, ada juga peraturan dari perusahaan, serta tujuan perjalanan keluar daerah. Sekitar30 menit menunggu, petugas memanggil. Karena baru pertama mengikuti tes, tentu rasa bercampur aduk. Bagaimana rasanya diambil sampel dengan memasukkan benda semacam lidi ke dalam hidung dan tenggorokan bagian dalam. Menurutnya, tidak terlalu sakit, tapi berharap tidak datang untuk ketiga kalinya. Penanda jika sebenarnya itu cukup menyakitkan.
Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula
Hari kelima menjalani karantina dan telah mengikuti tes pertama PCR/SWAB, tampak semua berjalan lancar, termasuk bantuan biaya tes dari kantornya, dan dilakukan sesuai dengan petunjuk Satgas Covid-19 Banjarbaru dan berbagai saran dokter keluarganya.
Namun, berita kurang enak mulai menghampirinya. Apa pasal? Bagaimana tidak shock, dia mendapat berita dari temannya jika telah beredar berita di kantornya jika dia diisukan “positif covid”. Rupanya, sebagian pimpinan institusinya “belum begitu paham” apa itu “reaktif rapid” dan “positif covid”. Juga terjadi kesalahan logika. Bagaimana mungkin seseorang “dituduh” positif covid, sementara tes PCR/SWAB belum dilakukan.
Berita pertama masih ditanggapinya santai sambil mengkonfirmasi jika berita itu hoax. Namun, tiap hari selalu saja ada temannya yang minta klarifikasi tentang berita itu. Setidaknya ada lima orang dalam tiga hari. Dia semakin gelisah. Dia seharusnya fokus meningkatkan imunitas, tapi justru diisukan positif covid.
Hasil diskusi dengan teman-temannya yang mengerti hukum dan beberapa orang seniornya tentang permasalahan tersebut, maka dia mengambil keputusan yang tepat untuk membuat orang semua nyaman. Bagaimana agar orang-orang tidak lagi mendengar bahwa dia positif covid, yang tentu berita itu sangat merugikannya secara immaterial yang tidak bisa dibayar dengan material. Hubungan sosial dengan si penyebar berita hoax dan pimpinan instansinya tidak berlanjut hingga ke ranah hukum. Sehingga cukup dengan permintaan maaf oleh si penyebar hoax dan janji pimpinan untuk menyelesikan masalah tersebut.
Ada banyak pelajaran di balik cerita fakta tersebut. Di era new normal ini, era di mana kita harus beradaptasi dengan tatanan baru dengan Covid-19. Belum ditemukannya vaksin untuk pengobatan virus corona. Maka kita sebaiknya tetap bijak memahami “new normal life” itu dengan tidak salah memahaminya dengan menyebutnya “hidup normal (kembali)”, yang dampaknya orang semakin ramai beraktivitas di luar rumah tanpa melaksanakan protokol kesehatan, seperti tidak menggunakan masker, mendatangi kerumunan (seperti mall), dan jarang cuci tangan.
Ungkapan Banjar, “marasa maka tahu”, saya pikir tepat disematkan kepada masyarakat saat ini, bahwa jika belum merasakan “sakitnya” di karantina, “ditolak” pihak RS, tes PCR/SWAB, termasuk diisukan positif covid, apalagi kematian, maka masyarakat kita belum akan sadar.
Indikasi lemahnya tingkat kesadaran dan kepatuhan itu dapat dilihat dari statistik jumlah pasien covid yang selalu bertambah, bahkan sempat menempati peringkat keempat setelah DKI Jakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.