• Senin, 22 Desember 2025

Duka dari Terowongan Tambang, ketika Keyakinan Para Penambang Tidak Sesuai Harapan

Photo Author
- Kamis, 28 Januari 2021 | 15:40 WIB
DUKA KELUARGA: Hujan air mata di KM 33 Mantewe. Satu-satu jenazah diangkut dari dalam terowongan. Dari pagi hingga petang. Total ada delapan, dua masih belum ditemukan. | FOTO: ZALYAN S ABDI/RADAR BANJARMASIN
DUKA KELUARGA: Hujan air mata di KM 33 Mantewe. Satu-satu jenazah diangkut dari dalam terowongan. Dari pagi hingga petang. Total ada delapan, dua masih belum ditemukan. | FOTO: ZALYAN S ABDI/RADAR BANJARMASIN

Di sebelah lubang tambang besar itu ada lagi lubang-lubang tambang serupa. Bedanya, lubang-lubang lain seperti khas bekas tambang yang penuh air. Seiring waktu, terowongan batu bara itu semakin panjang. Salah satu ujung terowongan sampai ke lubang tambang di sebelah yang berisi air. Pekerja baru tahu ketika ada air masuk. Penggalian mereka hentikan, lubang segera ditambal dengan karung-karung berisi air.

Pada Minggu (24/1), lubang itu jebol lagi. Dan itulah awal mula bencana. Air dari lubang tambang sebelah masuk begitu derasnya disertai lumpur. Para pekerja yang tewas, rupanya terbawa terjangan air yang memenuhi terowongan dan kehabisan napas. Mereka tidak sempat menyelamatkan diri seperti dugaan rekan-rekannya yang selamat.

Sehari Bisa Dapat Rp500 Ribu

Wahidah sibuk membuat pesanan. Ada yang minta air es dan mi rebus. Toko kecilnya di kawasan tambang masih aktif. Suasana itu adalah gambaran riuhnya pekerja ketika bencana belum terjadi. "Kalau ramai bisa seminggu dapat Rp6 juta," katanya. Itu keuntungan Wahidah berjualan makanan dan minuman di sana.

Dia bercerita. Para pekerja di sana jumlahnya lebih 50 orang. Datang dari berbagai daerah. Tinggal bersama, seperti keluarga. Wahidah biasanya dibayar seminggu sekali, ketika pekerja gajian (dibayar batu bara karungannya). "Kalau malam, makan minum di sini. Main domino. Gak pernah ada masalah. Semua baik-baik," kenangnya.

Tidak pernah perempuan paruh baya itu membayangkan akan terjadi bencana. Dia tinggal di sana dengan suaminya yang bekerja di tambang. Penghasilan penambang sendiri terbilang lumayan. Satu karung batu bara dibeli dari harga Rp5 sampai Rp7 ribu. Satu orang bisa mendapat antara 50 sampai 100 karung dalam sehari. Tinggal kalikan saja.

Warga sekitar mengatakan, mereka kerja di sana karena masalah perut. Pekerjaan susah didapat. "Di luaran jadi buruh paling Rp150 ribu. Mengeruk batu bara dikarungi bisa saja dapat Rp500 ribu," kata Eko warga di sana. Beberapa pekerja yang selamat mengaku tidak mau lagi kerja di sana. Mereka  trauma.

Tambang itu berada sekitar 6 kilometer dari poros jalan raya (ralat berita sebelumnya 4 kilometer). Dari luar tidak kelihatan. Tertutup hutan. Masuk ke dalam, hutan berubah jadi kebun sawit. Akses masuk sangat sulit. Tanah liat, berlumpur dalam. Mobil yang bisa masuk harus bertenaga double gardan. Kanan kiri banyak bekas galian tambang terisi penuh air.

Tambang berada di ketinggian. Daratan Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru terlihat. Salah satu lubang tambang tampak amat luas. Airnya pun dalam, karena berwarna bening, tidak cokelat. Hari-hari biasa, jalan tambang itu ramai dilalui warga. Banyak yang berkebun di dalam. Akses mereka ke kota kecamatan sekitar 15 kilometer. Mantewe adalah daerah Tanah Bumbu yang berbatasan dengan Kabupaten Banjar, Tapin dan HSS. Akses ke Kandangan sudah aspal dari sana. (zal/ema)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kabupaten Banjar Sumbang Kasus HIV Tertinggi di Kalsel

Jumat, 12 Desember 2025 | 11:10 WIB
X