Organisasi terlarang yang keberadaannya diharamkan pemerintah. Siapapun yang terlibat akan dapat hukuman, dari penjara sampai hukuman mati.
****
BANJARBARU - Rasa takut itu ditanamkan pemerintah era Orde Baru terhadap PKI. Phobia bahkan paranoid warisan Rezim Orde Baru ini menjadi salah satu penyebab mengapa minimnya terungkap sejarah pergerakan PKI di Kalsel.
Peneliti sejarah di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur termasuk kesulitan dalam mencari data dan fakta tentang keberadaan PKI di Banua. “Banyak masyarakat, terutama golongan tua yang masih takut untuk membahas masalah PKI. Trauma ini bahkan mengakar sampai ke anaknya,” ungkap Mansyur, Minggu (29/9).
Padahal, kata Mansyur, ada beberapa sumber primer yang saat ini masih hidup dan beraktivitas seperti masyarakat biasa. Namun, karena tidak ingin mendapat diskriminasi, sumber tersebut lebih memilih bungkam jika setiap kali ditanya mengenai PKI.
Salah satunya adalah anak kandung dari Sekretaris I Comite Daerah Besar (CDB) PKI Banjarmasin, Amar Hanafiah. Mansyur menceritakan, bahwa anak dari Hanafiah ini jadi sumber penting karena hidup di masa ketika ayahnya dijatuhi vonis hukuman mati oleh Mahmillub Banjarmasin. Tepatnya pada tanggal 14 Agustus 1967. “Anak beliau itu masih ada, dan dia bekerja sebagai tukang tambal ban di sekitaran Teluk Dalam, Banjarmasin,” ungkap Mansyur.
Namun, karena sudah ditanamkan agar tidak membicarakan tentang PKI, anak Amar Hanafiah itu juga memilih untuk diam. “Mungkin ada kekhawatiran bakal mengalami diskriminasi dari masyarakat jika membuka informasi tentang ayahnya,” kata Mansyur.
Kondisi itu juga banyak terjadi pada masyarakat yang hidup di wilayah pergerakan PKI seperti Amuntai, Kabupaten HSU dan Kandangan, Kabupaten HSS. Dua wilayah itu itu, jelas Mansyur, jadi basis pergerakan PKI karena banyak masyarakat yang bekerja sebagai petani dan kaum buruh lainnya. Mereka itulah sasaran PKI untuk meraup suara dalam pemilu.
Selain rasa takut, minimnya data mengenai pergerakan PKI di Banua ini juga disebabkan banyak sumber sejarah yang sudah tutup usia. “Banyak yang memilih untuk tidak menceritakan peristiwa yang mereka alami ke anaknya. Jadi sumber tersebut meninggal dunia, cerita tentang peristiwa itu juga putus,” katanya.
“Informasi mengenai lokasi markas PKI di Liang Anggang, Banjarbaru pun sampai saat ini masih misterius,” tambah Mansyur.
Saking minimnya, data mengenai pergerakan PKI di Kalsel yang dikumpulkan Masnyur selama lima tahun hanya sebatas data sekunder. Padahal informasi keberadaan PKI di Banua ini sangat penting bagi dunia pendidikan. Sebab dengan terbukanya teka-teki yang ada, maka masyarakat akan bisa mengetahui alasan terjadinya pembubaran PKI.
“Selama ini sebagian besar sejarah PKI di Kalsel hanya diketahui melalui artikel pemberitaan dan naskah pidato pada zaman itu. Tidak dengan sumber primer,” tukasnya.
Meski demikian, masih ada sumber primer mengenai PKI di Kalsel memilih untuk tidak bungkam. Di Banjarbaru, ada seorang seniman yang jadi pelaku sejarah PKI di Kalsel. Namanya adalah Misbach Tamrin.
Seniman kelahiran Amuntai, tahun 1941 ini adalah Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Kota Banjarmasin. “Karena tuduhan komunis dan sebagai tahanan politik (Tapol), beliau (Misbach Tamrin) pernah mendekam selama 13 tahun di penjara Orde Baru,” bebernya.
Walaupun sempat terjadi pergolakan, Mansyur membandingkan pergerakan PKI di Kalsel ini tidak separah daerah lain. Ia memberikan catatan bahwa penolakan PKI di Kalsel tak lantas mencapai level ekstrem. Sebab, begitu G30S meletus, tidak ada orang Kalsel yang mengejar-ngejar untuk menumpas kader atau simpatisan PKI.
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Sumber: Radar Banjarmasin