Kasus perceraian di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, banyak dipicu oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dari 140 kasus gugat cerai yang tercatat di Pengadilan Agama (PA) Batulicin antara September hingga Oktober 2024, 109 di antaranya disebabkan oleh KDRT.
Panitera Muda Hukum PA Batulicin, Muzdalifah, menjelaskan bahwa sebagian besar gugatan cerai diajukan oleh perempuan. PA Batulicin memprioritaskan penanganan kasus KDRT meskipun belum memenuhi syarat minimal, seperti pisah selama 6 bulan atau pertengkaran terus-menerus selama 1 tahun.
“Memang KDRT termasuk alasan yang paling banyak diajukan dalam perceraian,” tegas Muzdalifah, dikutip Senin (4/11/2024). Ia juga mengingatkan pasangan yang ingin bercerai untuk berpikir matang sebelum mengambil keputusan.
Penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari perceraian, baik secara emosional maupun sosial. Dari data yang ada, total perkara yang masuk ke PA Batulicin pada periode ini adalah 140, terdiri dari 109 cerai gugatan dan 31 cerai talak.
Di sisi lain, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Tanah Bumbu juga aktif mencegah kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Upaya ini dilakukan melalui sosialisasi yang menyasar pelajar, ibu-ibu majelis taklim, dan tokoh masyarakat. Kepala DP3AP2KB Tanbu, Erli Yuli Susanti, menjelaskan bahwa sosialisasi bertujuan mencegah kekerasan sejak dini.
Jika sudah terjadi, dinas akan memberikan pendampingan kepada korban. “Tugas UPTD adalah mendampingi dan memediasi. Jika kasus masuk ranah pidana, kami berkoordinasi dengan PPA Polres Tanah Bumbu,” tambahnya.
Erli juga menekankan pentingnya peran masyarakat. Masyarakat yang mengalami, melihat, atau mengetahui kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat melapor ke kantor DP3AP2KB Tanah Bumbu di Batulicin.
Selain itu, mereka juga bisa menghubungi UPTD PPA Tanah Bumbu melalui hotline 083159607246. Layanan ini mencakup pengaduan, penjangkauan, pengelolaan kasus, akses penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban. (*)