Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melaporkan, 41 dari 52 kelurahan di kota ini terdampak rob. "Dampaknya masih terbilang kecil," kata Kepala Pelaksana BPBD Banjarmasin, Husni Thamrin. Banjir diprediksi kembali menyapa Banjarmasin pada pertengahan Januari, Februari, dan Maret 2025.
Meski tidak setinggi pada Desember, masyarakat tetap perlu waspada, karena musim hujan sedang memasuki puncaknya.
Prediksi Tahun 2050
Di masa mendatang, intensitas banjir di Kota Seribu Sungai diperkirakan kian meningkat. Riset Climate Central, lembaga non-profit yang fokus pada isu perubahan iklim, memberikan gambaran suram tentang masa depan Banjarmasin.
Lewat peta interaktif, mereka menunjukkan bagaimana kenaikan permukaan laut akibat krisis iklim bisa memengaruhi kota-kota pesisir di Indonesia. Peta interaktif ini dirancang menggunakan model CoastalDEM, yang memanfaatkan data radar satelit dari misi NASA pada tahun 2000.
Dengan bantuan teknologi machine learning, para ilmuwan memproses dataset tersebut untuk memproyeksikan perubahan ketinggian permukaan laut hingga beberapa dekade ke depan.
Pada 2050, rata-rata ketinggian air laut global diperkirakan akan meningkat hingga 18-33 cm. Kondisi ini menempatkan Banjarmasin—saat ini 0,16 meter di bawah permukaan laut—dalam "zona merah".
Diperparah kondisi permukaan tanah Banjarmasin yang mengalami penurunan signifikan. Kajian Pusat Pengembangan Infrastruktur Informasi Geospasial Universitas Lambung Mangkurat (PPIIG ULM) bersama Badan Riset Daerah (BRIDA) Kalimantan Selatan pada 2021 menyatakan, rata-rata tanah di kota ini turun antara 2,5 hingga 26,7 milimeter per tahun. Kelurahan Basirih di Banjarmasin Barat mencatat laju penurunan tercepat.
"Kondisi ini terjadi karena kontur lahan Banjarmasin yang rawa dan pembangunan yang massif," kata Ketua PPIG ULM, Syam'ani, belum lama ini. Pembangunan mengabaikan kondisi geografis kota. Sebagian besar dibangun dengan metode urug lahan, alih-alih mengadopsi konstruksi panggung.
Akibatnya, banyak sungai di Banjarmasin tersumbat, bahkan mati. Dari total 290 sungai, sebanyak 95 sungai atau 32,76 persen masuk kategori sungai buntu. Tak hanya itu, 47 sungai lainnya atau 16,21 persen kini tertutup bangunan.
Sebagai kota yang berada di wilayah hilir Kalsel, Banjarmasin juga menghadapi dampak serius dari kerusakan lingkungan di hulu. Seperti alih fungsi lahan, deforestasi, dan pertambangan ugal-ugalan.
Kawasan hulu yang dahulu dipenuhi hutan, kini banyak yang gundul, dan tidak lagi bisa menahan limpahan air. Dari daratan, air hujan mengalir deras ke sungai, membawa erosi yang menyebabkan sedimentasi. Diperburuk kebiasaan masyarakat dan perusahaan yang membuang limbah ke sungai, menambah beban pendangkalan.
Alhasil, daya tampung sungai semakin berkurang. Saat hujan deras, sungai tak lagi mampu membendung debit air, sehingga meluap, dan menyebabkan banjir di permukiman. Jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa intervensi serius, ancaman tenggelamnya Banjarmasin bukan lagi sekadar prediksi, melainkan realitas yang sulit dihindari.(*)