”Kalau dari luar negeri, yang membelinya berasal dari Selandia Baru, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam. Sedangkan dari kalangan pejabat, ada Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalteng Guntur Talajan, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Gumas Trinayati, dan lainnya. Biasanya kecapi ini dijadikan sebagai cinderamata,” katanya.
Untuk harga, kata dia, tergantung ukuran dan tingkat kerumitan ukiran. Paling murah dijual dengan harga Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu bagi pemula yang ingin belajar. Kalau kecapi dengan ukuran besar dan ukiran yang rumit, dipatok dengan harga Rp 500 ribu.
”Dari segi harga memang masih terbilang murah, jika dibandingkan dengan jeri payah kita dalam membuatnya. Patokan harga yang bervariasi tersebut untuk lebih mengenalkan alat musik tradisional ini kepada masyarakat,” tuturnya.
Sejauh ini, lanjut dia, dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gumas sudah sering melibatkan para pengrajin dalam setiap event pameran, termasuk dirinya. Yang terbaru adalah ketika pelaksanaan Kalteng Quality Expo 2019 di Palangka Raya. Saat itu, 15 buah kecapi yang dibawanya habis dibeli oleh pengunjung.
”Kalau dari segi bantuan dana dan peralatan, untuk sementara belum ada. Hanya dibantu dalam bentuk pemasaran saja, seperti diikutsertakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) setempat dalam setiap pameran di tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional,” ujarnya.
Dia pun sangat berharap adanya bantuan dari pemerintah daerah. Setidak-tidaknya bantuan peralatan, seperti alat ukir, pahat, dan bansaw mini untuk membelah kayu. Jika bisa terealisasi, maka itu akan menjadi angin segar dalam upaya mengembangkan usaha kerajinannya tersebut.
”Untuk pengajuan bantuan ke pemerintah masih belum diusulkan, karena kami diminta untuk membuat legalitasnya terlebih dahulu. Maka dari itu, terbentuklah komunitas pengrajin alat musik tradisional ”Kacapi Tingang”, katanya.
Dalam upaya untuk mendapatkan legalitas, dia sempat membuat kesalahan dengan membentuk komunitas, padahal alangkah lebih baik membentuk kelompok saja, karena tidak terlalu repot dan proses pengurusannya juga lebih mudah. Karena sudah terlanjur, pembentukan komunitas ini terus dilanjutkan, dengan mengurus akta notaris, NPWP, izin lokasi, izin usaha, dan lainnya.
”Apa yang terjadi ini murni karena ketidakpahaman mengenai perbedaan antara komunitas dengan kelompok. Apabila membentuk kelompok, tidak terlalu repot, karena hanya perlu 10 orang saja, sedangkan komunitas minimal 40 orang,” terangnya.
Saat ini, tambah dia, di komunitas tersebut telah bergabung berbagai pengrajin kecapi, rabab atau biola khas dayak, suling, belawung, bahalang, dan gendang dengan ciri khas tersendiri. Mereka ada yang berasal dari Desa Hurung Bunut, Sei Antai, Linau, Petak Bahandang, dan desa di Kecamatan Rungan.
”Kedepan, komunitas ini diharapkan terus berjalan dan berkembang, serta mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Dengan demikian, kelestarian kerajinan alat musik tradisional tersebut akan tetap terjaga, hingga generasi selanjutnya,” pungkasnya. (*-fm)
.