• Senin, 22 Desember 2025

Perlihatkan Tingginya Toleransi Umat Beragama

Photo Author
- Selasa, 2 Juli 2019 | 15:12 WIB

Setelah seluruh tahapan mengitari persembahan selesai, yang dimaknai sebagai penghormatan atas persembahan yang ditujukan kepada roh, baik roh di atas tanah, air, dan langit, Pisor menjalankan ritual dengan membacakan doa-doa menurut ajaran Hindu Kaharingan sebagai tanda hewan persembahan siap dikorbankan.

Setelah itu, anggota keluarga yang punya hajat secara bergantian menombak hewan kurban. Mulai dari kerbau, sapi, dan babi, yang terikat di tiang teras. Proses selanjutnya, warga yang beragama muslim, yang bisa menyembelih hewan ternak, diberi kehormatan menyembelih hewan persembahan tersebut.

”Kami mengikuti zaman juga. Saat ini warga banyak yang muslim, jadi mereka yang ambil alih,” ujar Karnel, Pisor ritual tersebut.

Karnel, menuturkan, pemberian kehormatan kepada umat muslim untuk menyembelih hewan persembahan itu, sebagai wujud toleransi antarumat beragama. ”Karena nanti hewan yang sudah disembelih sebagian dimasak bersama, kemudian dibagikan kepada warga desa,” ucap Karnel, seraya menyebut daging persembahan yang sebagiannya lagi dipersembahkan kepada roh di atas tanah, sungai, dan langit.

Selama ritual digelar di ruang terbuka, Pisor harus berpuasa. Dia baru bisa makan dan minum saat berada di dalam rumah. Menurut Karnel, hal tersebut sebagai penghormatan kepada roh leluhur.

”Kami sebagai pelayan saat ritual berlangsung tidak boleh makan dan minum. Jadi, saat di luar itu, persembahan sesajen untuk roh leluhur,” tambahnya.

Karnel menuturkan, ritual adat itu dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta atas segala limpahan rezeki yang diberikan. Sekaligus melestarikan nilai budaya dan adat istiadat Suku Dayak.

Ritual itu digelar selama dua hari dua malam. Usai penyembelihan persembahan, warga bersama keluarga berbaur di dalam pesta. Mereka menari melingkar penuh suka cita. Biasanya, acara ritual berlanjut hingga malam. Makan malam dilakukan dengan lauk daging persembahan yang telah dimasak bersama.

Karnel menjelaskan, pihak keluarga yang mengadakan upacara dilarang melakukan aktivitas di hutan selama tujuh hari ke depan. Terhitung sejak ritual penombakan persembahan. Aktivitas yang dilarang, seperti berburu, menyadap karet, ataupun berkebun.

Saat Radar Sampit tengah berbincang dengan pihak keluarga, seorang lelaki paruh baya mengenakan kaos singlet polos putih dan celana pendek, menghampiri. Ternyata dia merupakan Senan, penggelar hajatan itu.

Senan menuturkan, acara syukuran itu merupakan bentuk syukur atas perjuangannya bertani yang telah banyak membuahkan hasil. Pria yang lahir di Desa Sebabi tahun 1946 silam itu, mengaku akan terus bertani hingga ajal menjemput.

”Saya tidak tamat sekolah. Bisanya cuma bertani. Makanya ini bentuk syukuran hajat saya,” tutur pria itu kepada Radar Sampit.

Upacara adat itu mirip ritual Tiwah, meskipun tahapannya hampir sama, namun tujuannya berbeda. Tiwah merupakan upacara kematian yang bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan jalan roh atau arwah orang yang meninggal menuju surga, sementara syukuran adat digelar dengan tujuan bentuk rasa syukur kepada sang pencipta. (***/ign)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: sastro-Sastro Radar Sampit

Tags

Rekomendasi

Terkini

X