Munculnya buaya di Sungai Mentaya wilayah Kota Sampit baru tahun ini kencang terdengar. Hal itu dinilai sebagai imbas dari maraknya kebakaran hutan dan lahan di wilayah selatan Kotim, tempat buaya selama ini kerap menyerang warga.
Karhutla memutuskan rantai makanan hewan predator itu karena banyaknya satwa yang tewas atau menyelamatkan diri. Buaya disinyalir mencari wilayah baru agar tetap bertahan hidup, terutama di permukiman warga.
Perilaku buaya demikian juga terjadi di Kota Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat. Sungai Arut yang melintasi kota itu selama ini nyaris tak pernah terdengar ada buaya. Namun, setelah karhutla marak, buaya menampakkan diri pada warga dan sempat terekam kamera gawai warga yang mengabadikan momen langka itu.
Harie, dari Lembaga Swadaya Masyarakat Pencinta Hewan Reptil memercayakan sepenuhnya agenda mandi safar pada Pemkab Kotim yang dibayangi kemunculan buaya. Pemkab harus bisa memastikan keamanan masyarakat yang mengikuti kegiatan tersebut, baik dengan menghadirkan pawang maupun ritual agar peserta terjamin keselamatannya.
Akan tetapi, menurutnya, hal itu juga bukan jaminan buaya tak menerkam. ”Yang namanya binatang buas, insting buasnya tidak bisa ditebak. Saat dia lapar, ya harus mencari makan. Bagaimana pun caranya, pasti akan dia lakukan,” ujar Harie.
Dia juga mengharapkan pemkab memberikan solusi dan kenyamanan pada masyarakat yang mengikuti mandi safar. ”Kegiatan ini (mandi safar, Red) merupakan kepercayaan bagi masyarakat, terutama Sampit. Artinya, acara ini tetap berjalan walau ada area tertentu dan diawasi banyak pihak. Kami pribadi pasti akan ikut mengawasi,” ujarnya.
Pemkab Kotim sebelumnya menegaskan acara itu akan tetap dilaksanakan di bawah pengawalan ketat. Kepala Bidang Destinasi Wisata Disbudpar Kotim Indra Saputra mengatakan, isu munculnya buaya di Sungai Mentaya hampir setiap tahun terjadi. Tahun ini, untuk mengantisipasi hal buruk, Disbudpar akan melibatkan berbagai pihak untuk pengamanan ekstra ketat. (sir/ign)