• Senin, 22 Desember 2025

Berjaya di Zamannya, Kini Dihantam Sepi, Sering Kebanjiran dan Gelap-gelapan

Photo Author
- Sabtu, 30 November 2019 | 14:54 WIB

Penelusuran Radar Sampit, puluhan kios yang diperkirakan jumlahnya lebih dari 20 kios di lantai dua tertutup rapat menggunakan rolling door. Belum jelas apakah karena pedagangnya libur atau benar-benar sudah gulung tikar karena tak mampu bertahan menyesuaikan perkembangan zaman.

Di lorong kios yang berbeda, Muhammad Lutfhi, pedagang lainnya terlihat sibuk berbincang dengan anaknya yang masih kecil, ditemani istrinya yang duduk sambil menanti kehadiran pembeli.

Meskipun pengunjung bisa dihitung jari, mereka tak benar-benar membeli. Hanya sekadar melihat-lihat barang. Itu sudah  biasa dialami Lutfhi.

”Jualan sepi. Kalau enggak sambil dipasarkan jualan melalui online, menjual satu barang saja sulit,” ujar Lutfhi.

Lutfhi memang terbilang baru berjualan. ”Saya baru beberapa tahun saja jualan, tetapi dulu memang sering membantu bunda (ibu, Red) jualan di sini,” ujarnya.

Menurutnya, penjualan di PPM mengalami penyusutan drastis. Musababnya, terjadinya persaingan dagang serba murah yang menjamur di perkotaan Sampit. ”Banyaknya toko serba murah ini yang merusak pasaran kami dan kalau dibandingkan dengan kualitas bahan, kami juga tidak kalah berkualitas,” ujar Luthfi.

Luthfi menyadari, konsumerisme masyarakat terkait pemakaian suatu produk di masa kini tak lagi mengedepankan brand maupun kualitas melainkan lebih kepada tren. ”Sekarang ini jarang kita temukan masyarakat yang memikirkan brand ternama, tetapi lebih condong mementingkan tren masa kini. Terpenting kualitasnya mirip dengan yang original dan pasti harganya lebih terjangkau,” ujarnya.

Mengenai penghasilannya, Luthfi mengaku baru membaik ketika masyarakat dari perkebunan sawit turun ke Sampit. ”Sehari bisa dapat Rp 300 - Rp 500 ribu per hari. Tetapi kalau sudah datang orang sawitan pendapatan kami bisa Rp 2,5 juta,” katanya.

Dia juga kerap mengalami pilunya berdagang. ”Pernah saya jualan dua hari berturut-turut tak laku. Saya hanya bantu jualin dagangan orang saja,” ungkapnya.

Perubahan pola konsumerisme juga dialaminya. Sebelumnya PPM menjadi pusat perbelanjaan masyarakat Sampit, namun sekarang sepi. ”Dulu sebelum Pasar Inpres kebakaran, penjualan selalu ramai. Tak pernah sepi. Setelah kebakaran, baru di tahun 2004 dibangun PPM. Itu pun masih terbilang ramai, tetapi baru beberapa tahun terakhir ini saja menjual barang dagangan terasa sulit,” ujarnya.

Tak banyak permintaan Luthfi. Dia mewakili pedagang kain di PPM lainnya berharap pemerintah bisa membantu menarik minat masyarakat agar PPM ramai seperti dulu.

”Saya berharap bangunan PPM dipercantik dan pemerintah bisa membantu promosikan supaya masyarakat mau ke sini setiap saat. Tidak apa-apa hanya melihat-lihat, tidak membeli. Terpenting ramaikan dulu PPM,” tandasnya. (***/ign/bersambung)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

X