Bukan keturunan raja. Bukan juga budayawan. Dia menyimpan banyak pusaka bersejarah di rumahnya. Mulanya sekadar hobi, kini menjadi kecintaan. Ia ingin semua orang tahu akan pusaka dan pandai merawatnya.
USAY NOR RAHMAD, Sampit
MEMBACA kata pusaka, di pikiran kita pasti membayangkan benda yang dianggap keramat atau memiliki kesaktian. Berbeda bagi Nor Hikmatullah (42), menurutnya pusaka adalah seni .
Saya, berkesempatan berkunjung ke kediamannya di salah satu perumahan di Jalan Tjilik Riwut , Sampit dekat SPBU Samekto, Jumat (15/2). Pria yang kesehariannya bekerja sebagai petugas keamanan di perusahaan pembiayan ini menyambut dengan antusias.
Sebelum sampai ke rumah Nor Hikmatullah saya membayangkan pasti bakal banyak benda-benda pusaka yang dipajang di lemari kaca. Ternyata saya salah.
Di rumah bercat putih ini tak ada jejeran pusaka yang mencolok. Hanya tiga pucuk mandau (senjata khas suku dayak) bergantung di dinding. Lainnya tempelan poster anak-anak.
”Pusaka itu tergantung dari cara kita menilainya. Kalau kita mempercayai pusaka itu memiliki kesaktian maka akan seperti itu. Tapi kalau saya tidak. Saya menilai pusaka dari seninya,” ujar ayah dari dua anak ini.
Belum lama kami ngobrol, Hikmat (sapaannya) beranjak dari tempat duduknya. Tak lama kemudian dia keluar dari kamar dan membawa dua helai kain. Dia membentangkan kain kuning dan kain merah itu.
”Ini tidak ada maksud tertentu. Hanya sebagai alas bagi pusaka agar nyaman dilihat,” katanya.
Hikmat, tak ingin mengaitkan hobinya ini dengan hal-hal beraroma mistis. Ditegaskannya berkali-kali, kecintaannya murni karena seni dan keindahan dari pusaka.
Hikmat masuk lagi ke kamar dan keluar dengan membawa sejumlah bungkusan. Beberapa di antaranya tampak seperti keris. Namun ada sejumlah pusaka seperti mata tombak tidak berbungkus.
Satu per satu koleksi pusaka itu dikeluarkannya. Wangi kayu gaharu pun memenuhi ruangan rumah bertipe 36 itu. Bagi yang tidak kenal aromanya, mungkin bisa bikin bulu kuduk merinding.
Mulai dari yang terkecil berbentuk badik, di keluarkannya pelan-pelan dari sarung pusaka. Kemudian disusunnya di atas hamparan kain yang telah disediakannya tadi. Kini berbagai badik dari penjuru tanah air tersusun di atas kain kuning.
Berbeda dengan badik, cara Nor Hikmatullah memperlakukan pusaka jenis keris tampak berbeda. Ketika melepas keris dari sarungnya dia tampak lebih berhati-hati. Kumpang atau sarung di arahkan ke atas di sisi wajahnya lalu barulah keris ditarik perlahan.