Penghentian sementara layanan penerbangan rute Surabaya dan Jakarta di Bandara Haji Asan membuat transporasi udara di Sampit kian suram. Hal ini dinilai bisa mengancam iklim investasi, karena transportasi udara jadi salah satu indikator penting untuk perkembangan wilayah, terutama terkait investasi.
Bandara yang jadi alternatif saat ini Tjilik Riwut Palangka Raya dan Iskandar Pangkalan Bun. Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Kotim Susilo yang biasa melakukan perjalanan bisnis keluar kota setiap minggu menggunakan transportasi udara mengungkapkan kekecewaanya. ”Saya keluar kota setiap Minggu pasti ada. Penerbangan hampir selalu lewat Palangka Raya, karena layanan penerbangan di Bandara Haji Asan Sampit harga tiket pesawatnya lebih mahal dan sering cancel tidak jelas,” kata Susilo, Sabtu (20/7/2024). Susilo kerap kali mengemudi mobil sendiri dengan biaya bahan bakar minyak (BBM) pulang pergi Sampit-Palangka Raya Rp400 ribu.
Baca Juga: Rumit! Inilah Penyebab Terpuruknya Penerbangan di Bandara H Asan Sampit
”Senin, Insya Allah berangkat perjalanan ke Surabaya. Bawa mobil sendiri. Sampai bandara diparkir disitu tiga hari kena biaya Rp120 ribu,” ucapnya. Persoalan sulitnya masyarakat memperoleh layanan penerbangan di Bandara Haji Asan Sampit sebenarnya sudah terjadi bertahun-tahun. Salah satu sebabnya dikarenakan harga tiket yang dinilai tak masuk akal. Kondisi itu semakin diperparah setelah dua maskapai penerbangan dari Wings Air yang melayani rute penerbangan Sampit-Surabaya dan maskapai NAM Air yang melayani rute penerbangan Sampit-Jakarta berhenti beroperasi sementara waktu pada Juli ini karena dalam masa perawatan.
”Harga tiket tujuan Surabaya dan Jakarta kalau lewat Palangka Raya, rata-rata Rp1,3-1,4 juta untuk hari normal. Kalau urusan harga tiket lewat Palangka Raya masih wajar. Kalau terbang lewat Sampit, harga tidak wajar sampai Rp2,4 juta. Harga tiketnya masih mahal, bisa dipakai Pulang Pergi (PP) kecuali kepepet terpaksa berangkat dengan harga tiket segitu,” terangnya. Kondisi ini tentu saja membuat para pengusaha resah yang selalu bepergian mengandalkan transportasi udara.
Baca Juga: Rp27 Miliar untuk Pelapisan Aspal Bandara H Asan Sampit
”Jelas pengusaha sangat resah sekali. Karena bandara itu sentra utama bisnis. Kemajuan ekonomi suatu daerah bisa dilihat dari tingginya kunjungan bandara. Kalau bandaranya sepi, pengusaha juga berpikir panjang mau investasi di Kotim,” katanya. Terkait layanan maskapai yang tidak beroperasi, secara tidak langsung menghambat rencana bepergian keluar kota.
”Ya, mau bagaimana. Pengusaha tidak bisa berbuat banyak karena leading sektornya dan kebijakan ada di pemerintah. Pengusaha bisa memberikan support tetapi pengusaha juga berhitung,” ungkapnya.
Hal yang sama dialami Ari, pegawai di RSUD dr Murjani Sampit yang cukup sering bepergian keluar kota melewati Bandara Tjilik Riwut Palangka Raya. ”Saya ke Surabaya lewat Palangka Raya Rp1,4 juta. Kalau lewat Bandara Haji Asan Sampit tiket sampai Rp2,4 juta. Kalau harga tiket Sampit-Jakarta masih diharga wajar sekitar Rp1,4 juta. Kami berharap ada maskapai penerbangan baru sehingga harga tiket bisa bersaing dan masyarakat yang ingin bepergian keluar kota bisa punya pilihan mencari tiket yang lebih murah,” katanya.
Sementara itu mantan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Fadlian noor prihatin dengan kondisi transportasi udara di Kotim yang kian meredup. Apa yang diperjuangkannya semasa memimpin Dinas Perhubungan Kotim ternyata tidak berkelanjutan. ”Salah satu indikator perkembangan suatu daerah adalah kondisi sektor perhubungan udara. Itu sudah pasti,” kata Fadlian noor.
Saat memimpin Dinas Perhubungan Kotim, dia secara konsisten mempertahankan penerbangan Sampit-Jakarta, Sampit-Surabaya, Sampit-Semarang, Sampit-Palangka Raya, Sampit-Banjarmasin, hingga ke Sampit-Pangkalan Bun-Ketapang-Pontianak. Perlu kerja keras untuk menarik maskapai. Apalagi lahan bandara sempat diklaim masyarakat sehingga harus berjuang agar bandara tetap bisa operasional. “Tahun 2016 kita bersusah payah bisa membuat landing Sriwijaya Group dengan Boeing 737 seri 500 dengan jumlah kursi 125.
Juga ada Kalstar sehingga ada kemudahan transportasi udara saat itu. Kalau tidak ada pergerakan transportasi udara, rasanya seperti kabupaten itu mati,” ujarnya. Fadlian hanya tersenyum mendengar persoalan perhubungan udara di Kotim semakin kendur. Bahkan bandara yang menjadi kebanggaan kabupaten termaju di Kalteng itu ternyata sunyi. “Kotim sebagai kabupaten termaju di Kalteng dengan PDRB tertinggi, justru seperti ini kondisinya,” kata Fadlian Noor.
Ia menyebut hilangnya jadwal penerbangan karena pesawat sedang masa perbaikan sejatinya bukan sesuatu yang bisa diterima dari kacamata insan perhubungan. Semestinya jadwal penerbangan tetap ada dengan menyediakan pesawat pengganti. ”Ini akan memicu inflasi karena pergerakan barang dan jasa terhambat,” katanya. (hgn/ang/ign)