• Senin, 22 Desember 2025

Kejayaan Rotan Kotim Jadi Cerita Indah Masa Lalu, Larangan Ekspor Rotan Mentah Dianggap Jadi Biang Kerok

Photo Author
Indra Zakaria
- Senin, 10 Februari 2025 | 10:38 WIB
TAK KUNJUNG MEMBAIK: Sejumlah warga di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) masih menggantungkan hidupnya pada komoditas rotan, meski harganya tak kunjung membaik.
TAK KUNJUNG MEMBAIK: Sejumlah warga di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) masih menggantungkan hidupnya pada komoditas rotan, meski harganya tak kunjung membaik.

Sektor rotan di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menghadapi masalah besar. Semakin banyak petani yang meninggalkan budidaya rotan untuk beralih ke perkebunan kelapa sawit. Tanaman penghasil crude palm oil (CPO) itu dianggap lebih cepat memberikan hasil dan menjanjikan keuntungan lebih besar.

Salah satu pengusaha rotan yang masih bertahan, Dahlan, mengakui penurunan tajam pada industri ini sejak pemerintah melarang ekspor rotan mentah pada akhir 2011. Larangan tersebut telah melumpuhkan rantai bisnis rotan lokal yang selama ini bergantung pada pasar ekspor.

Baca Juga: Pesisir Berau Jadi Ekosistem Mangrove Terluas di Kaltim, Tetap Saja Terancam

“Banyak yang menebang rotan mereka dan mengganti dengan sawit. Kami tidak bisa menyalahkan mereka karena sawit dianggap lebih menguntungkan,” ujar Dahlan kepada Radar Sampit, Sabtu (8/2). Situasi sulit ini juga berdampak langsung pada pengusaha rotan, termasuk dirinya yang tetap mengelola kebun rotannya sendiri dan menjual hasil panen ke Cirebon. Dahlan mengungkapkan bahwa jumlah pekerjanya yang dulu mencapai lebih dari 200 orang, kini hanya tersisa sekitar 60 orang akibat penurunan permintaan.

“Rotan sering kali menumpuk dan membusuk karena tidak ada pembeli. Ini memaksa kami mengurangi tenaga kerja secara drastis,” tuturnya dengan nada prihatin. Dahlan menilai, larangan ekspor rotan mentah menjadi penyebab utama runtuhnya sektor ini. Padahal, rotan yang dibudidayakan di Kotawaringin Timur bukan hasil hutan alami, melainkan hasil budidaya masyarakat desa yang berkontribusi besar pada ekonomi lokal. Ia mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut dengan membuka keran ekspor secara terbatas. “Sistem kuota atau mekanisme buka-tutup ekspor bisa menjadi solusi untuk menjaga kelangsungan sektor ini tanpa mengorbankan industri lokal,” ujarnya.

Rotan, menurut Dahlan, memiliki keunggulan tersendiri. Selain mudah dibudidayakan dan tidak memerlukan perawatan intensif, rotan juga memberikan manfaat lingkungan karena tumbuh merambat pada pohon-pohon, sehingga ikut menjaga hutan tetap lestari.

“Rotan yang tidak dipanen akan terus tumbuh dan menghasilkan lebih banyak. Dengan harga yang saat ini mencapai Rp4.700 per kilogram, potensi rotan masih cukup menjanjikan jika ada dukungan regulasi dari pemerintah,” tambahnya. Realita di lapangan menunjukkan tren berbeda. Kebun rotan semakin tergeser oleh perkebunan kelapa sawit, terutama di wilayah utara Kotim. Dahlan memperkirakan hanya sekitar 30 persen kebun rotan yang tersisa dibandingkan masa kejayaannya.

“Petani lebih memilih sawit karena hasilnya lebih cepat dan lebih besar, khususnya bagi mereka yang memiliki lahan luas,” jelas Dahlan. Dahlan berharap pemerintah segera mengeluarkan regulasi yang mendukung kebangkitan sektor rotan, baik melalui dukungan teknis, pembukaan pasar ekspor, maupun insentif bagi para pelaku usaha. Menurutnya, mempertahankan rotan tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan lingkungan. “Sektor rotan berjalan mandiri tanpa banyak bantuan pemerintah, tetapi dampaknya luar biasa, terutama dalam menyerap tenaga kerja dan meningkatkan ekonomi desa. Jangan biarkan rotan menjadi cerita masa lalu,” pungkasnya. (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Sumber: Radar Sampit

Rekomendasi

Terkini

X