“Hukum kita sudah cukup saklek dalam hal itu,” tambah Panitera Muchammad Jusuf. Beberapa syarat seperti surat keterangan penghasilan dilampirkan. Kemudian surat keterangan berlaku adil. “Bagaimana implementasi perlakuan adil itu, ya kembali ke orangnya,” kata Jusuf.
Tidak akan pengadilan agama mengeluarkan izin poligami jika syarat tidak terpenuhi. Disebutkan, salah satu syarat, yaitu persetujuan istri pertama. Namun dalam beberapa kasus, jika istri tidak mau memberikan persetujuan, PA tetap bisa memberi izin poligami kepada suami.
“Dengan syarat, melihat kondisi lagi. Misal ternyata dalam rumah tangga itu memang tidak dikaruniai anak hingga bertahun-tahun. Istri tetap tak ingin dimadu, hakim bisa mengabulkan dan memberi izin. Sebab syarat alasan yang memungkinkan suami kawin lagi itu terpenuhi, tidak adanya keturunan itu,” papar Manshur.
Hukum dan alurnya sudah jelas. Dibuktikan dengan alasan kuat mengapa ingin beristri lagi. Kembali ke persoalan cerai akibat poligami. Alasan hakim mengabulkan perceraian tidak murni hanya karena istri tak ingin suami menikah lagi. “Efeknya itu yang bisa jadi alasan. Sederhananya seperti suami dicerai karena berjudi, ternyata itu akar yang membuat istri sering marah, akhirnya bertengkar, pisah rumah, tapi dicatat faktornya karena judi,” pungkas Manshur.
Dalam struktur masyarakat muslim, praktik poligami tidak bisa dianggap sebagai sebuah kelaziman sosial. Meski praktik poligini atau poligami dilakukan Nabi Muhammad SAW, namun saat itu dilakukan secara terang-terangan, tidak sembunyi-sembunyi.
Tidak seperti sekarang, yang terjadi kebalikannya. Tanpa persetujuan istri pertama. Fakta itu menunjukkan bahwa secara hukum moral sosial, praktik poligami merupakan sesuatu yang tidak laik dipublikasikan. Sebab pada zaman nabi, poligami yang dilakukan mempunyai kontribusi kemanusiaan dan agama yang sangat jelas. Peringkat praktik poligami rendah karena terkendala tidak hanya oleh tantangan jaminan kesejahteraan materi para istri, tetapi juga hambatan persepsi sosial negatif terhadap praktik tersebut.
***
Tak dimungkiri kemajuan zaman dan perkembangan teknologi turut berdampak pada perilaku sosial manusia. Termasuk dalam tren poligami yang marak dalam beberapa tahun terakhir ini. Ternyata salah satu pemicunya karena kemudahan akses pornografi yang bisa dilihat dari ponsel, komputer, atau majalah yang dijual bebas.
Psikolog Klinis Yulia Wahyu Ningrum menyebutkan, kemudahan mengakses bentuk-bentuk pornografi dapat menjadi stimulasi untuk melakukan hubungan seksual. Kemudian tayangan di beberapa media yang walau sudah melalui proses sensor, masih banyak yang menyoroti bagian sensitif perempuan dengan berbagai gaya atau posisi.
Belum lagi pengaruh media sosial. Di mana poligami seperti mendapat dukungan dan berubah menjadi hal yang lumrah di lingkungan. “Nilai-nilai poligami bukan menjadi satu yang negatif karena dilakukan banyak orang di lingkungan sekitar. Berbeda dengan zaman dahulu, poligami tidak terlalu menjadi sorotan,” katanya.
Sementara di zaman serbagadget ini, banyak orang terpacu untuk mengekspos kehidupannya sebagai bentuk eksistensi. Termasuk memperlihatkan perilaku poligami. Biasanya para istri kedua mem-posting kebahagiaan dan menceritakan aktivitas bersama suami mereka. Tentu saja akan banyak yang tersakiti ketika rekam digital banyak terlihat oleh orang lain.
“Istri pertama akan merasa terabaikan, tidak berharga, banyak orang yang tahu bahwa dia sedang dalam keadaan tidak nyaman,” ungkapnya. Belum lagi saat suami berada di luar rumah. Hal ini yang membuat istri pertama menjadi stres, lingkungan, atau sosial yang mendukung poligami membuat perempuan merasa kurang nyaman.
Psikolog yang juga aktif sebagai pengajar ini mengatakan, ada beragam pemicu poligami. Misalnya untuk kasus poligami yang disetujui oleh istri dan keluarga karena kondisi kesehatan istri yang mengalami sakit keras. Sehingga tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya kepada suami. Kemudian kondisi istri yang mandul, tidak setia, dan tidak berperilaku baik kepada suami.
Misalnya sibuk dengan pekerjaan dan memiliki prioritas pekerjaan dibanding keluarga atau suami. Akhirnya istri pasrah dan merelakan suami untuk poligami. “Bisa juga karena suami hiperaktif atau memiliki hasrat seksual yang tinggi, istri tidak mampu melayani pola hubungan seksual terlalu sering,” katanya.
Sementara untuk penyebab pribadi, ada yang poligami karena melihat keluarga menjanda dan memiliki tanggungan banyak anak. Sehingga dengan poligami dapat membantu kondisi kesulitan ekonomi tersebut. Namun kenyataannya di lapangan, banyak kasus poligami justru berawal dari perselingkuhan.