• Senin, 22 Desember 2025

Banyak Kasus Poligami Berawal dari Selingkuh

Photo Author
- Minggu, 3 Maret 2019 | 11:31 WIB

Tidak jujur dengan istri dan kerap menjadikan pekerjaan di luar kota sebagai alasan untuk mengunjungi istri kedua dan seterusnya. “Pekerjaan juga menjadi faktor terbanyak dari alasan poligami, misalnya suami kerja di kota lain dan istri tidak bisa mengikuti dan harus hubungan jarak jauh,” ucapnya.

Dia mengatakan, lingkungan juga memegang pengaruh. Ketika ada teman yang aman dan nyaman saat memiliki dua istri. Sementara rumah tangga dengan istri pertama aman karena tidak mengetahui suaminya mendua.

Pilihan untuk berpoligami semakin diperkuat karena tidak ada punishment atau hukuman yang mengatur soal perilaku tersebut. Poligami banyak diklaim beberapa perusahaan merupakan urusan karyawan yang tidak memberi hal negatif bagi perusahaan.

Selama menjadi psikolog, Yulia mengakui kasus tertinggi yang ditangani adalah perselingkuhan. Kemudian kasus kedua terbanyak kedua adalah poligami. Mirisnya, hampir 90 persen yang menjadi korban poligami mengalami depresi. Muncul perasaan negatif seperti merasa ditipu, tidak konsisten dengan komitmen pada awal pernikahan.

Kemudian mengganggu kondisi keuangan yang menurun, suami tidak adil dalam memberi nafkah batin maupun nafkah finansial. “Perasaan tidak dihargai dan perhatian yang kurang, muncul perasaan curiga bahwa suami bersenang dengan perempuan lain,” jelasnya.

Persepsi negatif ini memicu istri pertama menjadi kerap cemburu dan berpikir negatif. Tak hanya istri pertama yang mengalami stres, terkadang istri kedua juga mengalami momen tersebut. Contoh kasus ketika pernikahan sudah menginjak tahun ketiga, suami cenderung akan merasa lelah berada di kehidupan baru bersama istri mudanya.

“Istri baru, kondisi rumah serbabaru, anak baru dan tuntutan yang lebih banyak karena badan sudah menua dan harus menjadi bapak bagi anak-anak yang kecil,” bebernya. Sementara istri tua sudah tenang dengan anak-anak yang sudah dewasa. Ada rumah yang terasa nyaman, tidak ada suara yang bising, rapi, dan makanan tersedia. Sebab istri pertama sudah santai dan tinggal menikmati masa tua dengan santai.

Dari sudut pandang psikologi, poligami menimbulkan dampak yang begitu besar. Baik kepada istri dan anak yang menjalani rumah tangga tersebut. Misalnya untuk istri terutama muncul amarah karena merasa dibohongi, ditipu, menganggap suami telah mengkhianati kesetiaan perkawinan.

Selanjutnya, muncul perasaan bersalah atau bahkan menyalahkan dirinya sendiri atas pilihan suami untuk melakukan poligami. “Akibat ketidakmampuan dan kegagalannya dalam menjalankan tugas sebagai istri. Ini juga sering diikuti dengan perasaan tidak percaya diri dan merasa diri tidak berharga,” jelasnya.

Kemudian memicu rasa cemburu dan istri kerap merasa tidak adil. Suami kini harus membagi perasaan, harta, waktu kepada perempuan lainnya. Di mana perasaan terabaikan dan kerap memperlihatkan wajah cemberut justru bisa menjadi salah satu pemicu muncul kasus KDRT dalam rumah tangga. Tak hanya pada istri namun juga bisa terhadap anak.

“Istri merasa malu dengan lingkungan sekitar, akhirnya sering menghindari aktivitas sosial di lingkungan masyarakat,” ucapnya. Semua itu memicu rasa stres dan depresi berat bagi istri yang belum siap menerima kondisi yang ada. Sementara dampak psikologis bagi anak yang melewati rumah tangga poligami juga besar. Anak merasa kesepian karena ayah yang sibuk dan jarang di rumah.

Sama seperti ibu, anak merasa ditipu karena ternyata ayah mencintai anak yang lain. Hasilnya anak akan bersikap tidak baik dan dapat mengarah ke tindakan kriminal. "Ketika mengetahui bahwa ibu mereka disakiti, sementara mereka tidak bisa berbuat apa dan harus menerima kondisi ini," katanya.

Bahkan dampaknya, anak bisa memiliki gangguan orientasi seksual, misalnya lesbi dan gay. Sebab dia yang melihat figur ayah yang kurang baik. Contoh kasus lesbian yang dia tangani, anak memiliki perilaku menyimpang karena kasihan dengan ibu. Namun, juga benci karena dia menganggap ibu sosok yang lemah. Hanya menerima perlakuan ayah yang kurang adil.

“Ayah juga kerap berkata kasar bahwa perempuan itu tidak berguna dan merepotkan. Sehingga ia tumbuh menjadi perempuan tomboi yang ingin membuktikan bahwa dirinya kuat,” ungkapnya. Tentu anak yang merasa kurang kasih sayang dan perhatian menyebabkan kenakalan anak.

Apalagi anak merasa galau, tidak memiliki pegangan hidup dari kedua orangtuanya. Mereka merasa tidak ada sandaran hidup. Dampak psikologisnya memicu kerenggangan hubungan yang terjalin antara anak dan orangtua, terutama pada ayah. “Ada kasus yang saya tangani, anak menjadi waria karena kelekatan dengan sosok ibu dan tiga kakaknya perempuan. Figur ayah tidak ia dapatkan karena tidak ada saudara lain,” bebernya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X