Tim Solo beranggota tujuh prajurit. Plus satu sipil, warga kampung. Yang membantu memberi tanda untuk jalur pulang tercepat. “Anggota lain menjadi tim support. Mereka mengantarkan logistik ke tengah jalan pulang. Antisipasi kami kehabisan logistik,” ujar lulusan Akmil 2014 itu.
Tim ini menyapu bersih 371 patok di blank pos area yang medannya berbukit-bukit dan dikelilingi belantara lebat di tapal batas dengan Malaysia di wilayah Sabah. Patok pertama ditemukan setelah berjalan kaki tiga hari dari Desa Papetung. Rerata masih dalam kondisi bagus. Meski berselimut lumut, penandanya masih terlihat. “Warnanya sudah tidak jelas,” kata pria asal Malang itu. Ada beberapa patok yang bergeser. Tak jauh. Lantaran longsor. Ada juga yang miring.
Selain aktivitas sweeping barang ilegal, patroli, mengecek pelintas batas, para prajurit juga ada yang membantu menjadi tenaga pendidik di sekolah dekat pos. “Bantu nanam dan panen padi juga,” ujar Solo.
Pos Long Midang bertanggung jawab terhadap 416 patok. Patroli dilakukan berkala. Memakan waktu 15 hari berjalan kaki. Dengan sepuluh anggota. Anggota pos ini pernah mengungkap peredaran narkoba. Tak banyak, gram-graman. Dibawa sopir angkutan barang dari Malaysia. Dikonsumsi sendiri sebagai penangkal lelah, katanya. “Disembunyikan di kaleng minuman ringan, kalengnya dikepruk, dibuang kayak sampah,” ujar pria lajang tersebut.
Berada di perbatasan, Pos Long Midang mudah dijangkau. Jalannya lebar, dan sedang ditingkatkan. Segala macam keperluan juga tak begitu sulit terpenuhi. Seperti penerangan yang bisa menggunakan panel tenaga surya. Sementara air ditampung dari gunung dan dialirkan ke pos melalui pipa kecil. Sinyal telekomunikasi pun lumayan. Kadang bisa untuk sambungan telepon dan berkirim pesan.
Pos-pos perbatasan yang kami kunjungi pada 8–11 Juli lalu tak semengerikan yang dibayangkan. Meski ada satu yang luput; Pos Bahsiuk. Kami tak sempat bertandang. Untuk ke sana, dari Lembudud menuju Desa Long Layuk. Bisa dengan kendaraan. Sekitar dua jam perjalanan. Dari Long Layuk, dilanjutkan berjalan kaki. Delapan jam. Naik-turun bukit.
“Delapan jam itu untuk yang sudah terbiasa,” ujar Danki Taufan sembari tertawa. Dari cerita prajurit, personel yang bertugas di Pos Bahsiuk, saat pertama tiba, membawa beban berat, memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai kamp; 10–12 jam. Tapi setelah itu mulai terbiasa.
Selain Bahsiuk, masih ada pos-pos sulit lainnya. Digelari pos udara. Sebab hanya bisa dijangkau dengan helikopter. Di antaranya, Pos Long Bulan, Latang, dan Long Bena. Tiga tim dari pos ini, sudah ditarik ke Tarakan, Kaltara. Kami menemui mereka di mes Kodim 0907 Tarakan pada 6 Juli.
Sebelas bulan mereka “terasing” di pos-pos tersebut. Normalnya sembilan bulan. Lantaran ada hajat besar demokrasi; Pemilu 2019, para prajurit itu mendapat bonus sekitar dua bulan lebih lama di sana. Masing-masing tim berisi 15 personel.
Pemulangan dilakukan melalui jalur udara menuju Malinau. Dilanjutkan dengan perjalanan sungai menggunakan perahu bermesin tempel alias ketinting menuju Tarakan. “Misi utama kami menjaga patok-patok perbatasan dengan Malaysia,” ujar Komandan Pos Long Bulan Letda Inf AB Sitorus. “Selain itu, menjaga hutan kita agar tidak dijarah illegal logging,” sambung pria yang pernah dua kali bertugas di Aceh itu.
Di bawah pengawasan Sitorus dan tim, ada 303 patok yang harus dijaga. Patok terdekat berjarak 500 meter dari pos yang dikelilingi hutan berbukit itu. Sekitar 500 meter lagi di belakang patok itu, ada jalan logging di wilayah Malaysia. Yang dulu, konon, digunakan untuk mengangkut hasil hutan, termasuk kayu Indonesia.
Patroli dilakukan dengan membagi tim menjadi dua. “Perlu dua minggu untuk masing-masing tim menyelesaikan patroli patok,” ujar dia. Patroli berikutnya menyesuaikan kedatangan logistik.
Medan berbukit dan cuaca ekstrem memengaruhi kedatangan helikopter pengantar logistik. Kerap heli tak bisa merapat karena pos tak tampak, terhalang kabut atau rerimbunan hutan. “Kendala yang utama itu logistik,” kata dia. Selain tentu saja sinyal telekomunikasi.
Buruknya akses telekomunikasi ini memaksa hubungan dengan keluarga menjadi sangat jarang. Jika ingin berkomunikasi dengan istri, prajurit mesti menghubungi Pos Kelompok Kompi (Koki), yang berjarak lima hari jalan kaki dari Long Bulan, dengan radi. Pos Koki-lah yang meneruskannya ke tujuan. “Jadi kalau ngomong sama istri itu yang dengar satu kompi,” ujar Sitorus terbahak-bahak. “Jadi tak ada rahasia, paling bicara yang umum-umum saja,” seru di sela tawanya.
“Hape (handphone) saya ini (sembari memperlihatkan smartphone) setahun tidak dipakai, tahu-tahu rusak,” sambung bapak tiga anak itu dengan dialek khas Batak.