“Ibu yang punya warung sembako di sebelah? Terus, yang dibilang kuyang itu, siapa tadi? Acil Ijum?” tanya Yatno.
“Iya,” sahut Rini, “yang jualan jamu itu, lo.”
“Jangan dijadikan pikiran. Kalau kamu stres, kasihan anak kita.” Yatno membelai perut Rini yang membuncit.
Namun, Rini tidak bisa begitu saja melupakan cerita Acil Bayah. Dia jadi sering merinding saat terjaga di tengah malam.
Rini dan Yatno baru tiga bulan pindah ke Samarinda, karena sang suami diterima sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Untuk mendekati sekolah tempat Yatno mengajar, mereka mengontrak sebuah rumah di daerah pinggiran kota. Awalnya, Rini merasa tidak masalah tinggal di daerah situ, sampai akhirnya mendengar cerita seram Acil Bayah.
Acil Bayah mempunyai toko sembako kecil, tempat Rini membeli keperluan sehari-hari. Untuk mengenal penduduk dan situasi sekitar, Rini suka bertanya-tanya sambil berbelanja. Hingga suatu hari Acil Bayah bertanya tentang kandungan Rini.
“Sudah usia enam bulan,” jawab Rini sambil mengusap perutnya.
“Anak pertama?”
“Iya, Cil. Saya sudah menikah empat tahun baru bisa hamil.”
Lalu Acil Bayah menasihati tentang bagaimana menjaga kandungan terkait kebiasaan penduduk Kalimantan, yang kemudian berlanjut pada keharusan waspada jika berjumpa Acil Ijum.
“Tapi saya sering bertemu, karena beliau menawarkan jamu ke rumah,” kata Rini.
“Orang begitu biasanya mengintai pada siang hari. Lihat-lihat lubang angin….”
Sekarang Rini menyimpan duri landak pemberian Acil Bayah di bawah bantal tidurnya, yang konon untuk menangkal makhluk jahat. Yatno membiarkan saja, walaupun sambil tersenyum geli mendengar penjelasan istrinya.
***
Beberapa hari kemudian, ketika Rini sedang memasak di dapur, terdengar seruan, “Jamu! Jamu!”