“Jahe kunyit?”
Rini meletakkan cobek di dekat tiang dan memerhatikan reaksi Acil Ijum.
“Jahe kunyit, Mbak?” Acil Ijum mengulangi.
Rini memerhatikan perempuan di hadapannya. Wajah yang tirus dan keriput, hidung pesek, bibirnya lebar. Dari sela-sela jilbabnya yang buruk, keluar rambut yang beruban. Tiba-tiba saja Rini mengambil tumpukan sambal di cobek dengan tangannya, dan menempelkan ke wajah itu.
Acil Ijum yang tidak menyangka, tak sempat mengelak atau menangkis. Wajahnya belepotan sambal. Seketika dia menjerit. Beberapa orang yang lewat di jalan, datang menggerombol. Maka ramailah suasana. Setelah mencuci mukanya dengan air cucian gelas jamu, Acil Ijum mengayuh sepeda, pergi sambil menangis, meninggalkan Rini yang berdiri bengong.
Berselang dua jam kemudian, polisi datang menjemput Rini. Anak lelaki Acil Ijum keberatan dan melaporkan perbuatan itu. Yatno menyusul langsung dari sekolah. Dan kini mereka berempat berkumpul di kantor polisi.
“Saya… saya… takut kalau dia… mengambil anak saya….” Rini menjelaskan terbata-bata ketika ditanya polisi tentang alasan perbuatannya.
“Anak Ibu yang mana?” tanya lelaki berseragam polisi di hadapan mereka.
“Anak dalam perut saya….” jawab Rini.
“Maksudnya?” tanya polisi lain, yang menghadapi mesin tik.
“Eh… ada yang bilang, dia itu hantu kuyang yang bisa mengambil anak dalam kandungan….”
Maka suasana jadi gaduh. Anak Acil Ijum keberatan atas tuduhan dan perlakuan yang dilakukan Rini. Yatno memohon-mohon untuk dimaafkan.
Akhirnya, dengan pertimbangan bahwa Rini sedang hamil besar dan penduduk pendatang yang kurang paham situasi, dia dibebaskan; tetapi Yatno membayar tiga ratus ribu rupiah kepada Acil Ijum untuk biaya berobat wajah dan matanya yang perih.
***
Sejak itu Rini tidak pernah lagi ditawari jamu oleh Acil Ijum. Sekali Rini melihat perempuan itu lewat depan rumahnya, tapi tidak menoleh sedikit pun, bahkan mengayuh sepeda lebih cepat.