Dua jam lewat dengan lambatnya. Inilah relatifnya waktu. Bila kondisi tak enak dan tak menentu waktu seperti enggan berpacu. Padahal jarum jam tetap saja melakukan tugasnya seperti biasa. Hanya perasaan manusia yang suka menerjemahkannya berbeda.
Tiga jam sudah berjalan dan pikiranku mulai tenang meski masih ada kekawatiran. Mataku mengawasi pintu ruang operasi. Beberapa orang yang menunggu mulai tiduran dengan tikar di lantai ruang tunggu. Beberapa menguap dan memejamkan matanya.
Aku ingat, kami sudah melewati hari-hari yang berat. Sebelumnya pada usia 43 tahun kondisi istri sehat walafiat dan menjalani hari-hari kerjanya sebagai dokter sebuah rumah sakit. Sekitar dua tahun lalu gejala sakit kepala istriku sudah kelihatan. Sewaktu ada pelatihan di Jakarta, dia sakit kepala sampai tidak kuat lagi. Kakaknya membawa ke RS.
Hasil pemeriksaan MRI di RS Jakarta sudah memperlihatkan adanya AVM di kepalanya. Saat itu dilakukan upaya embolisasi yaitu menutup lubang-lubang feeder sebagai supplay makanan untuk jaringan AVM. Melalui slang yang dipasang dari pangkal paha, zat semacam lem dikirim ke jaringan AVM di pembuluh darah di kepala.
Bila semua lubang sudah ditutup diharapkan jaringan AVM akan mati dengan sendirinya dan darah tidak mengalir melewati jaringan itu. Istri dibius total dan proses tindakan bisa dimonitor dari layar TV. Yang menangani dokter spesialis radiologi intervensi. Inilah terobosan teknologi radiologi.
Embolisasi pertama sudah berhasil menutup sekitar 40 persen feeder dan dilanjutkan embolisasi kedua dalam jarak tiga bulan. Embolisasi kedua dilakukan tetapi sayang hasilnya belum seperti yang dikehendaki. Gagal memasukkan alatnya. Waktu menunggu dilakukan tindakan embolisasi lagi, istriku keburu divonis kanker payudara.
Istriku shock dan aku bingung juga. Diputuskan untuk operasi mengangkat kankernya. Sewaktu konsultasi dengan dokter, sempat bingung antara tindakan operasi atau embolisasi. Mana yang harus dilakukan lebih dulu. Dokter yang menangani berpendapat, dua-duanya penting untuk dilakukan. Akhirnya diputuskan untuk operasi dulu.
Operasi berlangsung lancar meski memakan waktu sekitar 11 jam di Surabaya. Setelah operasi harus melakukan pengobatan chemotherapy sebanyak 6 kali dan lanjutannya dengan obat lain sebanyak 12 kali.
Tiap 3 minggu dilakukan chemotherapi di Surabaya dan pada chemo terakhir dilakukan operasi usus buntu karena usus buntunya bengkak. Sekitar 3 bulan setelah selesai program chemotherapy dan pada program pengobatan lanjutan yang kesembilan terjadi malapetaka pendarahan otak itu.
Sebenarnya ada rencana setelah program pengobatan kanker selesai dilanjutkan lagi dengan embolisasi. Tetapi ternyata Tuhan berkehendak lain. AVM-nya keburu bocor dan darah mengalir ke otaknya. Aku harus menunggu istri operasi pendarahan otak. Menurut dokter, ini adalah operasi darurat untuk mengambil darah dalam otak, belum bisa menyelesaikan AVM-nya. Masih harus dilakukan lagi operasi mengangkat AVM di RS Jakarta. Di Samarinda belum bisa dilakukan operasi itu.
Empat jam lewat dan jarum jam sudah menunjuk jam 23 lewat. Tapi waktu rasanya begitu melambat. Tiba-tiba pintu dibuka dan namaku dipanggil. Aku tergeragap dan tergopoh-gopoh mengikuti petugas yang memanggilku.
Aku masuk ruang operasi dan kulihat wajah dr Andi terlihat santai sambil makan kacang. Melihatnya, aku sudah lega duluan. Dugaanku, operasi sudah selesai. Dan memang benar, dr Andi menjelaskan bahwa operasi telah berhasil mengambil darah dari otak sebanyak 60 ml dan darahnya dalam bungkus plastik diberikan kepada saya. Semua sudah dibersihkan. Untuk sementara, aku lega. Tetapi, masih kata dokter, masa kritis belum lewat. Masih menunggu 2–3 hari ini.
Aku masuk kamar di lantai 4 dan langsung berbaring memejamkan mata. Rasanya capek sekali. Kulepas semua beban di dada. Tuhan, terima kasih. Hanya kepada-Mu lah kami meminta. Hanya kepada-Mu lah kami berserah diri. Aku tahu, Tuhan tidak akan memberi ujian yang lebih berat dari kemampuan hamba-Nya. Aku percaya itu. Aku ingin istirahat. Aku juga ingin sehat untuk menyongsong hari-hari selanjutnya. Anak-anak juga berbaring di sekitarku. Wajahnya sama-sama kuyu.
***
Hari ketiga di ruang ICU, dr Ibram memanggilku. Dr Ibram adalah dokter bedah syaraf yang lebih senior yang menjadi koordinatornya. Pada saat operasi kemarin beliau sedang bertugas ke Surabaya untuk urusan BPJS. Hatiku kecut dan berdebar. Saat ini, panggilan yang paling mendebarkan adalah dari ruang ICU, tempat istriku dirawat.
Penjelasan hari kedua kemarin begitu memukul hati. Istriku tingkat kesadarannya sekitar 3 dan tekanan darah tak stabil. Ternyata batok kapalanya belum dipasang dan masih ditaruh di bawah kulit kepala. “Tolong dibantu doa,” katanya saat itu. Tapi begitu bertemu dr Ibram, dia langsung mengulurkan tangan dan bilang, ”Alhamdulillah.” Aku sudah lega duluan.
“Tingkat kesadaran mulai naik dari 5 ke atas. Mata sudah mulai sesekali terbuka,” kata dr Ibram dengan tersenyum. Aku menelan saja semua penjelasannya. Aku melihat sekilas di ruang kaca, istriku berbaring berselimut dengan mata terpejam. Ada perban di kepalanya. Ada alat bantu dipasang di mulutnya. Juga slang dari hidungnya. Slang infus dan entah slang apa lagi berseliweran di tubuhnya. Di sebelahnya ada layar monitor kecil yang menunjukkan kondisi tubuhnya tiap waktu. Ada perawat yang menjaga dan sesekali mencatatnya.