“Sebentar lagi sepertinya akan turun hujan deras. Biasanya akan ada beberapa karyawan perusahaan yang ditugaskan untuk berkeliling ke rumah-rumah warga untuk memberi tahu tentang risiko datangnya banjir. Bapak masuk dulu ya. Kamu jangan terlalu larut begadangnya.”
“Iya, Pak. Sebentar lagi,” jawab Mustari.
Setelah bapaknya masuk rumah, Mustari mengeluarkan kotak tembakaunya. Ia mulai melinting persis saat hujan mulai turun.
“Pas sudah. Ini rokok terakhir yang kuisap sebelum tidur,” ucap Mustari sambil menyalakan rokoknya.
Diisapnya rokok dengan tembakau Temanggung kesukaannya. Asap bergulung mengepul keluar dari mulutnya. Saat asap rokok yang diembuskan memudar, dilihatnya dua sosok datang menghampiri dengan menggunakan jas hujan gelap menembus hujan. Mustari menduga bahwa dua orang ini pastilah petugas yang akan memberi tahu soal potensi banjir yang akan terjadi seperti yang disampaikan bapaknya barusan. Mustari tersenyum bangkit hendak menyambut tamunya.
“Rumah Bapak Salim, ya?” ujar salah seorang dari mereka.
“Bapakku terkenal betul rupanya,” batin Mustari. Dia mengangguk sambil tersenyum.
Kilatan petir menyambar disertai bunyi dentuman, saat salah seorang dari mereka mengeluarkan sebilah pisau dan menghunjamkan ke tubuh Mustari. Mustari limbung lalu jatuh bersimbah darah. Ia hanya melihat dua orang berjas hujan tersebut kabur menerobos hujan deras sebelum pandangannya kabur dan menjadi gelap. (***/dwi/k8)
Endry Sulistyo, penulis kelahiran Jogjakarta yang kini bergiat di Komunitas TerAksara dan Komunitas Sejangkauan Tangan Indonesia.
*)Cerpen ini terinspirasi berdasarkan Laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur 2022 yang berjudul Dari Wisata Juang Menuju Kota Limbah Tambang.