Dengan tampang yang masih mengantuk, Cici kemudian mengangguk dengan mimik senyum. Merasa sedikit heran, orang itu lalu pergi begitu saja meninggalkannya sendiri.
Tangan Cici segera meraih ponsel pintarnya. Dilihatnya grup obrolan kelas virtual telah ramai. Jemarinya bergerak secara berayun menyingkirkan deretan tulisan di layar ponsel sampai pada obrolan terakhir; tugas dikumpulkan di pertemuan selanjutnya.
Tanpa pikir panjang, Cici segera melangkah cepat membawa tas punggung kecilnya. Agak jauh dari gedung kampus, langkah perempuan itu melambat. Ia kemudian duduk di sebuah pondok kayu.
Pandangannya celingak-celinguk. Terdapat banyak orang yang tampak sibuk berlalu-lalang di hadapannya. Namun, tidak ada satu pun yang dikenalinya. Kebanyakan dari mereka terlihat sedang memikirkan banyak hal hingga wajahnya tampak lelah.
Merasa jenuh akibat pemandangan wajah orang-orang lesu itu, Cici selanjutnya segera pulang ke indekosnya yang cukup dekat dari kampus. Dalam kamarnya, demi menyingkirkan ingatan pada wajah lelah orang-orang tadi, ia menonton banyak video yang berisi orang-orang yang tampak bahagia melakukan aktivitasnya. Detak jam dinding tak lagi terdengar. Perempuan semester dua itu menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar ponselnya.
Malam harinya, terdapat sebuah pesan virtual masuk secara personal dari Ari, si ketua kelas. “Kamu belum membuat kelompok?”
Cici menjawabnya dengan santai. “Kelompok apa?”
Emotikon sedih muncul sebagai balasan dari Ari.
Sementara ketua kelas itu tampak lanjut mengetik, Cici bergeming. Alis matanya hampir bersinggungan menatap emotikon sedih itu.
Tidak lama kemudian, notifikasi muncul, dari si ketua kelas. “Kalau begitu kamu bisa ikut di kelompokku, aku sudah bagi tugasnya. Sisa satu poin lagi yang belum. Informasi batas waktu dan lain-lain juga sudah kutulis di situ.”
Cici segera memberi stiker jempol, juga ditambah emotikon senyum dengan pipi kemerahan. Setelah membaca sedikit pesan dari ketua kelas, ia baru sadar itu adalah tugas barusan. Ia pikir pertemuan selanjutnya masih panjang tetapi ternyata besok; ia lupa.
Wajah lelahnya terpancar pada senyumnya yang tetap melekat. Tak sempat sampai larut malam, perempuan itu tertidur.
Raut marah ketua kelas menyambut pagi harinya di kampus. “Kenapa kamu tidak kerjakan bagianmu?”
Cici menunduk. “Hehe, maaf ya,” jawabnya tenang dengan menepuk pelan lengan Ari.
Si ketua kelas berusaha menurunkan suaranya. “Aku jadi harus buru-buru selesaikan sendiri karena kamu. Pokoknya, namamu sudah kucoret dari anggota kelompok. Aku tidak bercanda!” tegas Ari.