Dua sudut bibir perempuan itu mengendur.
Ari kembali membuang napas. “Maaf.”
***
Hari itu, lengkung senyum di wajah Cici tenggelam. Ia terus dibayang-bayangi perkataan Ari; aneh.
Ponsel Cici yang sebelumnya redup di atas kasurnya tiba-tiba menyala dan berdering; panggilan dari ibunya.
“Halo..., Bu?” ucap Cici lembut.
“Ci, ibu sudah transfer uang buat Cici. Ibu masih ada kerjaan lain. Ibu mau sampaikan itu saja dulu. Cici pokoknya harus bahagia di sana. Jangan sedih-sedih, ya. Sudah dulu,” ucap ibunya terburu-buru.
Cici mengangguk pelan. “Iya, Bu.”
Suara perempuan itu membuat Cici mengenang wajahnya serta bagaimana keras perjuangannya untuk membesarkannya seorang diri. Sering kali ibunya berucap padanya bahwa ia akan bahagia saat melihat anak gadisnya bahagia. Karena itu, Cici telah membiasakan diri menjadi anak yang pandai mengukir senyum di wajahnya. Tak ada niatan lain, lengkungan di wajahnya itu hanya agar ibunya turut bahagia.
Sejenak, ia menarik bibirnya untuk tersenyum lebar meskipun ibunya sedang jauh dari hadapannya. Mengingat kembali perkataan lelaki yang sempat berujar jujur, lengkung senyum di matanya serta di bibirnya mengendur. Ari secara tidak langsung telah berhasil menghancurkan pandangannya tentang kebahagiaan. Tercetus tanya di pikirannya kali ini, jika senyum bukan berarti bahagia, melainkan bisa jadi keanehan juga, lalu bahagia sejati itu seharusnya seperti apa? (dwi/k8)