“Aku sudah coba cari," ujar Cici sambil menutupi bibirnya dengan jari-jarinya, “tapi tidak sempat ketemu.”
Ari mengerutkan keningnya. Ada ketimpangan dari ucapan dan mimik perempuan itu. “Kenapa malah tersenyum?”
“Tidak,” ucap Cici pelan. Ia lalu menutupi lengkung bibirnya dengan kedua tangan. Namun, lengkung di matanya yang menunjukkan senyum, masih terlihat.
“Ini serius! Tapi, kenapa kamu tetap tersenyum?” Ari melangkah lebih dekat. Cici berhadapan dengan bagian dada pria bertubuh tinggi itu.
Cici lantas menutup seluruh wajahnya dengan kedua tangan; menyembunyikan senyumnya yang melekat kuat. Ari hanya menatap bingung pada perempuan yang tampak aneh itu. Karena kehadiran dosen, percakapan mereka pun terhenti.
***
Selepas mata kuliah usai, Ari berlari mendekatinya. “Baru saja kamu dapat nilai nol, Ci. Tidak sedih?”
“Tidak apa-apa. Hehe,” tawanya datar.
Ari merasakan sebuah kegetiran tentang sebab lengkung di wajah perempuan itu. Itu jelas palsu; topeng belaka. Sudah cukup banyak manusia bertopeng yang sering dijumpainya. Ada wajah manis yang menghalalkan cara najis, ada juga rupa sedih agar memiliki dalih. Namun, semua orang-orang yang bertopeng seperti itu punya tujuannya masing-masing; berbeda dengan perempuan aneh di hadapannya. Untuk apa topeng senyumnya itu?
“Ci... kamu benar baik-baik saja?”
“I.. ya.” Sudut bibir Cici semakin meninggi bersamaan dengan matanya yang semakin menyipit. Kepalanya tidak ikut mengangguk.
Ari membuang napasnya pelan. “Ci, apa kamu sadar kalau yang kamu lakukan itu aneh?”
Cici terdiam dengan kelopak matanya yang mekar.
“Sejujurnya, senyumanmu itu aneh, Ci,” ucap Ari melanjutkan.
Perempuan itu menyaksikan wajah Ari yang berkerut setelah menyampaikan kejujurannya. Sejenak, suasana keduanya lengang.