Setahun selepas modal diberikan Pemkab Penajam Paser Utara (PPU) pada 2021, laporan hasil pemeriksaan keuangan daerah dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Kaltim terbit. Dari laporan itu terungkap modal ke dua perusahaan umum daerah (perumdam), Penajam Benuo Taka (PBT) dan Penajam Benuo Taka Energi (PBTE) digunakan tak sesuai peruntukkan.
Hal ini diungkapkan Ainie, mantan inspektur pembantu di Inspektorat PPU saat memberikan keterangan di Pengadilan Tipikor Samarinda, Selasa (25/6).
“Dari temuan itu, direkomendasikan untuk menindaklanjuti dengan menarik kembali modal yang ada ke kas daerah,” tuturnya ketika bersaksi untuk bekas Bupati PPU yang juga terdakwa dalam perkara korupsi penyertaan modal, Abdul Gafur Masud (AGM). Modal yang digelontrokan senilai Rp 12,5 miliar untuk PBT harusnya digunakan untuk pembangunan pabrik penggilingan padi atau rice miling unit (RMU) di Babulu, PPU.
Dalam temuan itu, gelontoran dana yang diberikan pemerintah justru digunakan untuk kepentingan lain perumdam. Bahkan RMU sendiri tak pernah dikerjakan. Untuk PBTE, lanjut dia, dari Rp 4 miliar modal yang diberikan pada 2021, BPK memerintahkan untuk mengembalikan modal sekitar Rp 1,1 miliar yang tak sesuai peruntukkannya.
Menindaklanjuti temuan itu, Inspektorat PPU pun mencoba mengklarifikasi jajaran direksi PBT. Tiga kali, lanjut Ainie memberikan keterangan, inspektorat bersurat namun tak direspons. Medio 2022, sebelum Direktur PBT Heriyanto ditetapkan KPK sebagai tersangka Inspektorat menerima surat pernyataan yang dibuatnya. “Isinya, persoalan modal itu diselesaikan selepas proses pemeriksaan dirinya di KPK. Belum ada tindak lanjut, yang bersangkutan ditahan KPK,” jelasnya.
Hingga perkara penyertaan modal ini digulirkan KPK ke meja hijau, diakuinya belum ada pengembalian modal tersebut dari kedua perumdam.
Selain Ainie, ada satu saksi lain yang dihadirkan penuntut umum KPK ke persidangan, yakni Direktur Utama PT Migas Mandiri Pratama Kaltim (MMPKT) Edi Kurniawan. Di depan majelis hakim yang dipimpin Ary Wahyu Irawan, Edy menjelaskan jika MMPKT dan PBTE memang memiliki kerja sama dalam mengelola dana Participating Interest (PI) 10 persen dari Blok Migas Eastal-Attaka pada 2021 silam. “Blok migas itu ada di PPU, dulunya dikelola Chevron. Sekarang dihandel PHM (pertamina hulu mahakam),” akunya.
Sebelum ditetapkan menjadi tersangka medio 2022, Direktur PBTE Baharun Genda sempat menghubunginya terkait rincian pengelolaan PI tersebut. Untuk bisa mendapat saham migas tersebut, MMPKT yang notabene perseroan daerah milik Pemprov Kaltim harus membuat sebuah perusahaan patungan atau joint venture. “Karena lewat perusahaan patungan ini nanti yang menerima dana itu terus membagi keuntungan yang didapat dari PI yang ada,” jelasnya.
Perusahaan patungan sudah dibuat medio 2022 silam. Namun, sambung dia, belum ada persetujuan dari Kementerian BUMN untuk menurunkan PI tersebut ke perusahaan ini. “Karena lewat regulasi yang ada, pembagian keuntungan sudah ditentukan. PPU itu dapat sekitar 18 persen,” katanya.
Sampai saat ini, peralihan PI itu belum diproses MMPKT lantaran hasil kajian terakhir, kondisi pengelolaan blok itu negatif alias merugi. “Ditunda. Hasil kesepakatan bersama pemegang saham. Dari Pemprov Kaltim, pemkab PPU, Pemkot Balikpapan dan Bontang,” singkatnya. (ryu)