Biomassa sebagai strategi pengurangan emisi dalam penanganan perubahan iklim memiliki konsekuensi terhadap kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam upaya mitigasi perubahan iklim kedepan. Praktik pemanfaatan biomassa yang diklaim sebagai sumber energi terbarukan, ketika menggunakan bahan-bahan seperti kayu, cangkang sawit, jangkos, batang sawit, tempurung kelapa, dan sabut kelapa, memiliki implikasi lingkungan dan sosial yang lebih luas. Penggunaan biomassa juga berpotensi menyebabkan perampasan tanah dan konflik agraria dengan masyarakat adat, juga lokal. Pembakaran biomassa menghasilkan polusi udara pun dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Baca Juga: Kelahiran Dua Bayi Orangutan di Sub DAS Mendalam Bikin Optimis Dunia Konservasi
Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menilai pemanfaatan biomassa dalam transisi energi merupakan driver baru kerusakan hutan di Indonesia. FWI mencatat pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE) telah merusak hutan seluas 55.000 hektare (Ha) dan masih ada 420.000 Ha hutan alam di dalam 31 konsesi HTE direncanakan untuk di-deforestasi.
"Karena sejatinya ini adalah transformasi dari Hutan Tanaman Industri (HTI) ke HTE maka kecenderungannya adalah deforestasi. Dilakukan dengan pembukaan hutan dan lahan baru untuk memenuhi tuntutan usaha baru dalam bentuk tanaman energi," kata Anggi dikutip Jumat (9/2).Anggi melihat, bisnis kayu di Indonesia sedang mengalami stagnasi. Usaha baru berupa pembangunan HTE melalui multi-usaha kehutanan, dia duga, hanyalah cara untuk mengamankan bisnis.
Konsesi kehutanan menjadi lebih leluasa untuk memanfaatkan hutan alam dengan dalih transisi energi, guna memenuhi bahan baku biomassa kayu. Padahal, pemanfaatan biomassa sebagai alternatif untuk mengurangi emisi karbon perlu diuji dengan prinsip-prinsip keadilan dan berkelanjutan.
Jika pemanfaatannya tidak bijaksana, maka dapat berujung pada peningkatan tekanan terhadap ekosistem, memperburuk masalah seperti kehilangan keanekaragaman hayati dan kerusakan hutan, serta hilangnya ruang hidup masyarakat adat.
Berdasarkan dokumen FoLu Net Sink 2030, Kalimantan Barat (Kalbar) merupakan salah satu provinsi dengan target mitigasi deforestasi hutan alam terluas dengan total 917.000 Ha. Ketua Link-AR Borneo, Ahmad Syukri menyebut, biomassa yang selama ini dimanfaatkan di Kalbar mencakup produk seperti kayu, cangkang sawit, jangkos, batang sawit, tempurung kelapa, dan sabut kelapa.
Semuanya itu, lanjutnya, sering dipromosikan sebagai solusi untuk transisi energi. Namun, kenyataannya biomassa tidak lebih dari solusi palsu yang berpotensi memperparah krisis lingkungan.
"Pembakaran biomassa melepaskan emisi CO2 dan gas rumah kaca lainnya, memperparah krisis iklim. Faktanya, 1 juta ton biomassa yang dibakar menghasilkan 1,7 ton emisi baru," katanya dalam diskusi 'Masa Depan Hutan Alam Kalbar' beberapa waktu lalu.
Biomassa yang diprioritaskan Pemerintah Provinsi Kalbar, kata Ahmad, adalah kayu yang dihasilkan dari perkebunan skala besar, yang akan merampas lebih luas tanah-tanah milik petani dan masyarakat adat. Sama halnya yang bersumber dari jangkos, cangkang sawit maupun batang sawit.
"Semakin banyak hutan alam yang akan dibuka untuk kepentingan pembangunan perkebunan kayu untuk kepentingan penyediaan biomassa (HTE), semakin hilang kemampuan serap emisi karbon. Terlebih di kawasan gambut," tuturnya.
Manager Program Bioenergi, Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani menjelaskan bahwa pemanfaatan biomassa dalam co-firing hanya akan memperpanjang usia PLTU. Yang berarti menguntungkan para pengusaha batu bara karena mereka masih dapat memasok batu bara ke PLTU.