Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, melontarkan kritik tajam terhadap terbatasnya kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan dan perizinan sektor pertambangan. Ia menilai bahwa meskipun Kalbar kaya akan sumber daya alam, masyarakat justru belum merasakan manfaat dari kekayaan tersebut.
“Kita seperti mati di lumbung padi,” ujar Krisantus ditemui awak media usai membuka Konferwil III Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Kalbar. Menurutnya, meskipun Kalbar memiliki kekayaan alam melimpah seperti emas, uranium, bauksit, silika, serta potensi sumber daya alam tambang lainnya, masyarakat setempat belum merasakan dampak signifikan terhadap kesejahteraan mereka.
Ia menilai kondisi ini bertolak belakang dengan semangat keadilan sosial yang tercantum dalam sila kelima Pancasila. Kekayaan alam yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, belum memberikan manfaat nyata bagi daerah, misalnya dalam bentuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Saat ini, lanjut Krisantus, ratusan perusahaan tambang beroperasi di Kalbar, namun kontribusinya terhadap pembangunan daerah dinilai masih minim. Ia menganggap situasi ini sebagai ironi, mengingat potensi ekonomi yang besar justru belum mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat secara signifikan.
“Tapi kita belum melihat kontribusi yang maksimal terhadap pendapatan asli daerah,” katanya. Walaupun perizinan tambang berada di bawah kewenangan pemerintah pusat, Krisantus menekankan bahwa pemerintah daerah tidak bisa hanya berpangku tangan. Menurutnya, membiarkan masyarakat tidak merasakan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan akan hasil pertambangan, tanpa adanya upaya dari pihak pemerintah daerah adalah tindakan yang tidak etis.
“Jadi kalau dibilang ini (tembang) kewenangan pemerintah pusat, dan pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi jangan ikut mengurus yang bukan kewenangannya, (maka) saya tegaskan kami harus urus,” ujarnya.
Ditanya mengenai perlunya pelimpahan kewenangan perizinan tambang kepada daerah, Krisantus menyatakan hal tersebut perlu diperjuangkan. “Kita tidak bisa tinggal diam,” tegasnya.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral (Disperindag ESDM) Kalbar, Kamaruzaman, menjelaskan bahwa saat ini provinsi memiliki kewenangan terbatas dalam pengurusan izin usaha pertambangan.
Ia menambahkan bahwa kewenangan lain yang dimiliki provinsi antara lain mencakup pemberian sertifikat standar dan izin, serta pembinaan atas pelaksanaan perizinan berusaha yang didelegasikan oleh pemerintah pusat. Namun, kewenangan ini bersifat dinamis atau tidak mutlak, yang berarti bisa sewaktu-waktu ditarik kembali oleh kementerian terkait.
“Ini bukan sebuah kewenangan mutlak, tapi bisa on off, dalam artian bisa ditarik ke kementerian (ESDM,red),” kata Kamruzaman.
Ia menyebut izin untuk komoditas galian C, seperti pasir, batu, dan tanah, serta pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR), merupakan beberapa jenis perizinan yang menjadi ranah pemerintah provinsi.
Di sisi lain, Kalimantan Barat diakui memiliki cadangan mineral strategis yang sangat besar. Sejalan dengan kebijakan hilirisasi dari pemerintah pusat, disiapkan peta jalan (roadmap) pembangunan 10 smelter untuk mendukung proses pengolahan bahan mentah di dalam negeri.
Kamaruzzaman menyatakan bahwa pembangunan smelter ini diharapkan tidak hanya meningkatkan nilai tambah produk tambang, tetapi juga membuka lapangan kerja dan memperkuat perekonomian lokal.
“Kita berharap dapat memberikan berkah dan kemakmuran bagi masyarakat di kalbar karena akan menyerap tenaga kerja, serta (mendapat) dana bagi hasil,” katanya.