AMUNTAI - Inilah Kalimantan Selatan dengan kisah eksotismenya yang menawan. Hamparan rawa yang membentang di tiga kabupaten menyajikan pemadangan unik. Kisah hadangan yang menjadi tradisi dan simbol status sosial masyarakat rawa.
Eksotisme Kalimantan Selatan sebagai daerah rawa sangat identik dengan ternak kerbau rawa. Hewan yang memiliki nama latin babulus bubalis carabanesis atau lebih populer disebut warga setempat hadangan, memiliki keunikan dibandingkan kerbau yang hidup di darat. Ciri utama hadangan adalah kemampuannya berenang di air yang dalam, bahkan di rawa yang dipenuhi semak belukar.
Menjelang matahari terbit kerbau-kerbau ini dilepasliarkan dari kandangnya yang biasa disebut kalang. Kandang atau kalang ini dibuat di tengah rawa. Menjelang matahari terbenam kerbau ini digiring atau kadang dengan sendirinya berenang masuk ke dalam kalang.
Sebaran hewan yang memiliki tanduk cukup panjang ini berada di tiga kabupaten yang disatukan oleh kawasan rawa, yaitu Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan. Di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) populasi ternak kerbau rawa tersebar di tujuh desa di Kecamatan Paminggir yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah.
Tujuh desa itu adalah Paminggir, Paminggir Seberang, Pal Batu, Ambahai, Sapala, Tampakang, dan Bararawa. Data yang diperoleh Radar Banjarmasin di Bagian Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten HSU, dalam dua tahun terakhir jumlah kerbau rawa mengalami penurunan populasi. Sebelumnya berjumlah 9.342 ekor menjadi jadi 7.415 ekor atau berkurang sekitar 1.927 ekor.
Mengapa populasi ternak kerbau rawa di Hulu Sungai Utara menurun? Ancaman peternak kerbau bukan masalah perkebunan sawit. Sampai saat ini di Kecamatan Paminggir belum ada perkebunan sawit. Ancaman nyata kerbau perenang tersebut yakni musim dan parasit atau penyakit cacing hati.
"Penurunan jumlah lebih disebabkan faktor musim. Saat hujan semua lokasi untuk merumput atau kumpai terendam air bahkan larut. Banyak hewan ternak yang mati kelaparan atau dijual pemilik agar menghindari kerugian," sebut Kabid Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten HSU Akhmad Rijani. Saat menghadapi musim hujan itulah banyak kerbau rawa terserang penyakit cacing hati hingga menyebabkan kematian.
"Saat ini banyak kerbau sudah mulai bunting dan beranak hingga populasi kembali bertambah mencapai 8.600 ekor," ujarnya. Bahkan, lanjutnya, bagi masyarakat Paminggir, memiliki kerbau rawa menjadi simbol strata sosial warga. Semakin banyak memiliki kerbau, semakin tinggi strata sosialnya dan dianggap mampu secara ekonomi.
Sementara saat musim kemarau justru lokasi merumput kerbau rawa semakin luas. Karena air rawa menyusut dan tumbuhan kumpai bisa tumbuh subur. Meski lokasi berkubang kerbau berkurang, tapi masih ada sungai yang menjadi alternatif. "Daerah ini luar biasa. Saat daerah lain kekeringan, HSU malah produktif. Kerbau bunting begitu juga petani lahan rawa panen raya. Jadi kerbau rawa masih menjadi bagian kearifan lokal warga Paminggir. Jadi, kerbau rawa masih jauh dari kepunahan," paparnya.
Gempuran ternak baru berupa sarang walet juga diyakini Rijani tak menjadi ancaman bagi eksistensi kerbau rawa. H Fahri, peternak kerbau rawa di Desa Tampakang mengaku membangun gedung walet bukan untuk meninggalkan ternak kerbau."Kerbau ternak jalan, peluang walet juga diambil. Jadi kerbau tetap menjadi ternak kebanggaan turun temurun orang tua kami," katanya.
Kalau di Kabupaten Hulu Sungai Utara beternak kerbau rawa dianggap kebanggaan, maka di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, beternak kerbau rawa dianggap cukup menjanjikan. Selain biaya pemeliharaannya yang relatif rendah, kerbau rawa memiliki harga jual yang cukup tinggi. Hal itu pula yang membuat masyarakat tertarik untuk memelihara hewan berbadan besar juga bertanduk itu.
Di kabupaten yang memiliki julukan Bumi Muraka (Mufakat Rakat dan Seiya Sekata) ini, ada tiga kawasan yang terkenal sebagai sentra peternak kerbau rawa. Yakni masyarakat di Desa Sungai Buluh, Desa Rantau Bujur dan Desa Mantaas. Semua desa tersebut berada di Kecamatan Labuan Amas Utara (LAU).
Kepala Desa Mantaas, Mahyuni, mengungkapkan dari catatan di tahun 2018 lalu sedikitnya ada 21 peternak. Jumlah itu kian bertambah seiring dengan banyaknya permintaan konsumen terhadap hewan tersebut. Terlebih, karena sistem penggemukan dan peternakan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Jumlah kerbau yang diternak bervariatif. Untuk satu orang peternak saja bisa memelihara sedikitnya 20 kerbau betina dan 5 kerbau jantan. Ada juga yang memelihara sampai 50 kerbau, ungkapnya. Dalam setahun umumnya peternak bisa menghasilkan 10 hingga 15 kerbau.
Kerbau rawa yang dihasilkan dijual dengan harga yang bervariatif pula. Sebagai contoh, seekor betina besar yang disebut warga kerbau parinduan harganya bisa mencapai Rp25 juta. Jangan heran bila peternak cukup gampang untuk bisa memiliki sebuah mobil, ungkapnya sambil terkekeh. Umumnya permintaan konsumen terhadap kerbau meningkat menjelang hari raya kurban dan maulid.