BANJARBARU - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja masih memantik kontroversi. Karena banyaknya suara penolakan. Di Banua, penolakan RUU ini disuarakan oleh Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) Kalsel.
FRI Kalsel sendiri dibentuk Februari 2020 tadi, beranggotakan mahasiswa, buruh, LSM, masyarakat sipil dan lain-lain yang punya tujuan sama: menggagalkan Omnibus Law serta kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat.
Kemarin (21/7), FRI Kalsel yang diwakili Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, Persatuan Petani Kopi Borneo dan BEM dari sejumlah universitas menandatangani surat yang berisikan sikap, tuntutan dan ultimatum mereka terkait RUU Omnibus Law untuk dikirim ke DPR RI dan DPD RI.
Sikap FRI Kalsel dalam surat tersebut diantaranya, menolak draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena dianggap cacat prosedur dan tidak partisipatif. Serta, mengecam adanya sentralisasi kebijakan yang merupakan bentuk penghianatan kepada cita reformasi.
Sedangkan, tuntutan dan ultimatum mereka yakni, menuntut DPR RI dan DPD RI Dapil Kalsel untuk memberikan sikap (menolak atau menerima) terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja dalam bentuk surat resmi selambat-lambatnya 1 minggu, terhitung sejak kemarin.
Jika dalam waktu yang sudah ditentukan DPR RI dan DPD RI Dapil Kalsel tidak memberikan sikap konkrit, maka FRI Kalsel akan menyampaikan mosi tidak percaya dan mosi salah pilih wakil rakyat. Serta, akan melakukan aksi-aksi lanjutan.
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, mereka terpaksa mengirim surat berisi sikap, tuntutan dan ultimatum FRI Kalsel karena Omnibus Law banyak mudaratnya. "Secara tahapan pun banyak masalah. Tidak partisipatif dan tidak transparan," katanya.
Selain itu, Omnibus Law juga menurutnya, mengesampingkan hak asasi manusia (HAM), hak buruh, masyarakat sipil, masyarakat adat, perempuan dan lainnya. "Justru dari contoh draf, kami lihat sangat menguntungkan investor," ujarnya.
Dia mencontohkan, regulasi yang menguntungkan investor dalam RUU Cipta Kerja diantaranya ialah izin tambang mineral dan batubara yang menghilangkan royalti hingga nol persen. Serta, adanya izin tambang seumur tambang.
"Bayangkan, Kalsel dapat jatah 13,5 persen royalti saja begitu parah kerusakan lingkungannya akibat tambang. Apalagi kalau tidak dapat royalti sama sekali,” ucapnya.
Kisworo menilai, jika RUU Cipta Kerja disahkan jadi UU bakal mengancam keselamatan rakyat dan lingkungan. "RUU tidak memandang rakyat yang ada. Padahal, regulasi semacam ini akan makin memicu konflik agraria dan rakyat yang selalu dikalahkan,” cetusnya.
Dia mendesak agar Presiden Jokowi di pemerintahannya yang kedua ini lebih baik segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat, merevisi UU KPK yang ada dengan menguatkan komisi anti rasuah itu.
“Perizinan ekstraktif atau tambang harus segera direview. Di Kalsel, banyak contoh lubang-lubang tambang yang tidak ditutup, padahal ada kewajiban dana reklamasi yang tidak terealisasi. Belum lagi soal pencemaran lingkungan, seperti kerusakan dan pencemaran Sungai Barito, Sungai Amandit, Loksado, Sungai Satui dan lainnya akibat tambang,” bebernya.
Selama ini, penegakan hukum lingkungan di masa Jokowi dinilai Kisworo sangat lemah. Menurutnya, seharusnya sudah ada Satuan Tugas (Satgas) atau Komisi Khusus Kejahatan Lingkungan dan pembentukan Pengadilan Kejahatan Lingkungan. “Sepatutnya, kebijakan dan perundang-undangan itu mengutamakan kedaulatan negara, keselamatan rakyat dan lingkungan," paparnya.