BANJARMASIN - Antrean angkutan mengular panjang di sisi Jalan H Hasan Basri Banjarmasin kemarin. Truk bermuatan besar ini terpaksa harus bergiliran diseberangkan dengan kapal LCT di Sungai Alalak.
Sungai ini sebagai penghubung Banjarmasin dengan Barito Kuala yang menghubungkan dengan provinsi tetangga, Kalteng. Mengularnya antrean lantaran akses jalan alternatif Gubernur Syarkawi
tak bisa dilalui karena kondisinya masih tergenang banjir dan sebagian ruas jalannya rusak.
Praktis, akses jalan ini satu-satunya yang bisa dilalui para sopir angkutan untuk membawa barang mereka menuju Kalteng termasuk Kaltim. Karena terbatasnya jumlah kapal penyeberangan, ditambah waktunya hanya sampai sore hari, para sopir pun harus rela bermalam demi bisa mengangkut barang mereka.
“Saya antre dari pukul sepuluh tadi malam. Sampai ini belum masuk giliran diseberangkan,” keluh salah satu sopir angkutan, Riduan, kemarin.
Dia membawa telur ayam dari Tanah Laut untuk dibawa ke Pontianak. Telur ini sebutnya, sedianya sudah harus sampai Sabtu lalu di tempat tujuan. “Kalau seperti ini bisa molor. Bahkan uang makan bisa habis di jalan,” keluhnya.
Menurutnya, akses jalan ini satu-satunya yang bisa ditempuh saat ini. Memaksakan lewat Jalan Gubernur Syarkawie, sebutnya malah membuat masalah. “Pemerintah harus ada solusi. Kalau seperti ini kami yang repot,” tuturnya.
Keluhan senada disampaikan Husaini, sopir angkutan pembawa kebutuhan pokok ini mengaku harus menginap satu malam demi bisa ke Kapuas. Mepetnya waktu penyeberangan yang hanya dari pukul 08.00 Wita sampai pukul 18.00 Wita membuat lambatnya pengantaran.
Dia bersyukur masih ada penyeberangan feri kapal LCT ini demi memfasilitasi pihaknya. Namun, melihat kondisi di lapangan yang harus menunggu lama, dia meminta pemerintah membolehkan dilintasinya Jembatan Alalak 1.
Menurutnya, Jembatan Alalak 1 masih sangat layak dilintasi. Namun harus diatur mekanismenya. Dia memberi contoh, yang bisa melintas hanya angkutan dengan beban kecil. Sementara angkutan besar dilarang dan harus lewat feri penyeberangan. “Kalau seperti ini saja, menuntut sopir harus sabar. Bagaimana kalau yang dibawa kebutuhan pokok yang cepat busuk. Kasihan mereka,” ucapnya.
Dia juga mengeluhkan tarif penyeberangan yang terbilang tinggi. Seperti diketahui, pengusaha feri mematok tarif untuk truk Rp300 ribu, puso engkel Rp600 ribu, tronton dari Rp1 juta sampai Rp1,5 juta. “Saya terpaksa meminta tambahan dengan bos. Tapi untuk biaya saya makan antre menunggu tak dihitung,” keluhnya.
Keinginan bisa dilintasinya Jembatan Alalak 1 juga disampaikan Udin. Sopir truk batu split asal Kabupaten Banjar ini meminta pemerintah mengizinkan hal tersebut. “Tinggal diatur mekanismenya. Truk kecil diperbolehkan, sementara truk besar dilarang. Ini bisa memangkas waktu antre,” cetusnya.
Di sisi lain, pengusaha feri LCT penyeberangan, Rannsya menerangkan, tarif yang dipatok pihaknya sesuai dengan biaya operasional. Dia menyebut, biaya tinggi untuk memfasilitasi para sopir angkutan tak hanya untuk membeli solar kapal. Namun membayar sewa dermaga.
Tak hanya itu, empat eksavator kecil sebutnya disewa untuk memfasilitasi bagian depan dermaga. “Untuk empat buah eksavator saja dibutuhkan empat drum solar sehari. Belum lagi sewa alat berat dan operatornya yang nilainya Rp5 juta lebih sehari,” sebutnya.
Khusus biaya dermaga dia mengungkapkan, pihaknya harus membayar Rp60 ribu satu truk kepada pemilik lahan dermaga. “Operasionalnya juga tinggi. Bukan kami mematok tinggi. Apalagi khusus solar kapal sehari bisa memerlukan empat drum solar untuk satu kapal,” bebernya.