Abduh mulai menjadi petugas kebersihan kampus saat menulis skripsi. Ia tetap menyapu taman kampusnya, saat menempuh kuliah S2 dan mengajar.
******
Jarum jam menunjuk angka tujuh ketika Muhammad Rahmani Abduh melangkah keluar dari indekos sederhana di Gang 7, Kompleks Bina Brata, Jalan Manunggal II, Kebun Bunga, Banjarmasin Timur.
Di halaman, motor Honda Supra X andalan sudah menanti. Setelah memanaskan mesin, pemuda 25 tahun itu mengenakan helm dan memulai perjalanan menuju Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Jalan Ahmad Yani Kilometer 4,5 Banjarmasin.
Setiba di kampus, Abduh–begitu ia akrab disapa–langsung mengambil peralatan kerja seperti sapu, serok, dan bak sampah. Tugasnya sebagai petugas kebersihan kampus ini telah ia jalani sejak tahun 2020. Meski berat, inilah cara Abduh mewujudkan mimpinya.
Perjuangan Abduh
Abduh lahir dan besar di Desa Sinar Baru, Rantau Badauh, Barito Kuala. Orang tuanya, Muhammad Riduan dan Siti Rahmah, adalah petani sederhana yang penghasilannya pas-pasan.
Namun, keterbatasan ekonomi keluarga tidak pernah memadamkan semangat Abduh untuk sekolah. Sejak masuk kuliah pada 2016 di Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Antasari, Abduh sudah menyadari ia perlu bekerja untuk membiayai pendidikannya.
Pekerjaan pertama yang ia lakoni adalah karyawan di sebuah rumah makan sejak 2017. Namun, pada 2020 ia terpaksa resign karena harus menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tandilang, Batang Alai Timur, Hulu Sungai Tengah.
Selesai KKN, Abduh sempat kebingungan mencari pekerjaan baru untuk menopang kehidupannya di perantauan. Hingga muncul lowongan petugas kebersihan di kampusnya. Saat melamar, ia sempat ditanya apakah yakin bisa bekerja sambil menyelesaikan skripsi.
Abduh menjawab, "Saya sudah dapat izin dari dosen pembimbing skripsi. Saya juga berkomitmen menyelesaikan kuliah meski sambil bekerja." Ia diterima, dan bertugas membersihkan taman-taman kampus sambil membagi waktu untuk kuliah dan menulis skripsi.
Abduh tidak pernah merasa malu pada teman-teman kuliahnya. Baginya, pekerjaan itu adalah jalan untuk memperjuangkan harapan orang tua di kampung. "Melihat perjuangan orang tua saya, banting tulang sebagai petani, mengapa harus malu?" ujarnya.
Ia juga bersyukur karena memiliki teman-teman yang selalu mendukung pekerjaannya. "Mereka paham dengan kondisi saya dan selalu memberi semangat. Semuanya baik. Itu membuat saya semakin kuat," katanya.