• Senin, 22 Desember 2025

Dalam Sejarahnya, Tahta Raja Banjar Sudah Diperebutkan Sejak Dulu, Bukan Hanya Saat Cevi vs Khairul Saleh

Photo Author
- Rabu, 14 Mei 2025 | 15:30 WIB
Sultan Banjar
Sultan Banjar

 

Polemik penobatan Cevi Yusuf Isnendar sebagai Raja Kebudayaan Banjar oleh Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon menjadi topik menarik bagi Antropolog. Dosen Antropologi Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Dwi P Sulaksono menjelaskan Kesultanan Banjar lebih memakai silsilah perkawinan atau zuriah secara paternalistik (dari laki-laki). “Kesultanan Banjar biasanya menarik garis keturunan dari Sultan Adam dan Sultan Sulaiman,” katanya.

Namun, Dwi mengingatkan perebutan tahta Raja Banjar juga pernah dilewati pada awal berdirinya Kesultanan Banjar. Tepatnya sengketa kepemimpinan antara Pangeran Suriansyah dengan pamannya yang bernama Sesuhunan Nata Alam atau Mangkubumi. “Mangkubumi sendiri sejak dahulu dikenal sebagai patih di dalam Kesultanan Banjar,” terangnya.

Baca Juga: 13 Adipati Kesultanan Banjar Tolak Penobatan Cevi Yusuf sebagai Raja Kebudayaan Banjar oleh Menteri Fadli Zon

Namun, di balik persoalan siapa yang berhak dan tidaknya dalam menyandang gelar Sultan Banjar saat ini, ada peristiwa di era Kesultanan Banjar yang menurutnya bisa diambil pelajaran.

“Pangeran Hidayat dahulu juga pernah diusulkan oleh Pangeran Antasari, yang notabenenya adalah keturunan zuriat dari Pangeran Amir yang pernah membelot dan menentang kebijakan Sultan Banjar di Kayu Tangi. Meski pada akhirnya yang terpilih adalah Pangeran Tamjidillah, karena ada campur tangan Belanda di Keraton Banjar,” papar profesional ahli permuseuman di Museum Lambung Mangkurat, Banjarbaru ini.

Kesultanan Banjar pada tahun 1860 sebenarnya sudah dibubarkan, dan Belanda sempat memberikan lahan yang pernah digunakan dalam kegiatan kapitalisme. “Lahan itu diberikan kepada para Pangeran yang pernah bekerja sama dengan pemerintahan kolonial,” ungkapnya.

Baca Juga: Cevi Dilantik Jadi Raja Kebudayaan Banjar, Klaim Punya Keris dan Surat Wasiat

Pemberian tanah tersebut dikenal sebagai Apanage Land atau lebih dikenal dengan “Tanah Pegustian”. Belanda memberikan sebutan “Gusti” kepada bangsawan serta pangeran yang telah berjasa. Harapannya agar areal lahan yang ditanami rempah dan palawija itu bisa digunakan kembali sebagai lahan hortikultura, yang tertulis dalam Undang-undang Sultan Adam dan Reformasi Agraria dalam sistem pemerintahan Swapraja.

Gejala sosial dan usurpati seperti ini, kata Dwi, sengaja dihidupkan oleh Belanda agar bisa terus menjaga aset properti kepemilikannya dalam kontrak dagang bersama Kesultanan Banjar.

Di era kemerdekaan ini, melalui prakarsa bersama Himpunan Keraton Nusantara (HKN) serta berbagai komunitas akademik, profesi dan budayawan, kemudian dilakukan pengesahan kembali Kesultanan Banjar. Pangeran Khairul Saleh yang terpilih sebagai Sultan Banjar dinobatkan pada tahun 2010.

Menurut Dwi, di samping pemulihan aset keraton, pengesahan Kesultanan Banjar juga dimaksudkan sebagai akses diplomasi kebudayaan. Kehadiran Kesultanan Banjar juga diharapkan bisa mengembangkan potensi pariwisata daerah agar publik dapat termotivasi mengunjungi objek wisata dan kebudayaan. “Misal (bentuk kebudayaan, red) berupa hasil produksi industri kreatif dan UKM melalui Dekranasda yang secara eksotis diminati oleh publik,” katanya.

Di sisi lain, pemegang tahta di Kesultanan Banjar juga harus memiliki kesanggupan dalam memelihara keragaman budaya dan multikulturalisme sebagai warisan budaya yang telah dideklarasikan oleh Unesco – Iccrom, 2001.

Dengan begitu, orang yang menduduki tahta Kesultanan Banjar harus lebih dapat memfasilitasi kegiatan pelestarian tradisi, serta konservasi benda cagar budaya bersama dengan pemulihan aset keraton Banjar.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Kabupaten Banjar Sumbang Kasus HIV Tertinggi di Kalsel

Jumat, 12 Desember 2025 | 11:10 WIB
X