Informasi terkait perebutan gelar ‘Sultan’ di lingkungan Kesultanan Banjar mendapat atensi serius oleh Cevi Yusuf Isnendar.
Keturunan Sultan Banjar yang baru dinobatkan sebagai Raja Kebudayaan Banjar oleh Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon ini menegaskan bahwa kondisi sistem kekeluargaan di Kesultanan Banjar, tidak separah yang dituturkan sejarah.
“Hal tersebut perlu diluruskan. Terutama mengenai perang saudara di lingkaran Kerajaan Banjar, yang selama ini diceritakan (dalam sejarah, red),” ungkap Cevi kepada Radar Banjarmasin, Rabu (14/5) malam.
Menurutnya, Kesultanan Banjar adalah kesultanan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan. “Kami adalah kesultanan yang rakat (erat, red) tidak pernah terpecah seperti kerajaan yang lain di Nusantara,” tekannya.
Mengenai perseteruan dalam keluarga Kesultanan Banjar yang tercatat sejarah, kata Cevi, itu adalah akal-akalan Belanda. Apalagi perpecahan tersebut dianggap sebagai perang saudara untuk memperebutkan tahta tertinggi di Kerajaan Banjar.
“Itu adu domba penjajah. Padahal Kesultanan Banjar cuma satu, dan perlu ditekankan lagi bahwa tidak pernah sampai ada perpecahan hanya karena berebut tahta,” tukasnya.
Baca Juga: Mengklaim Jadi Raja Banjar Paling Sah, Pangeran Cevi: Yang Mengaku-ngaku Sebagai Sultan Banjar Akan Dituntut Pasal Penipuan
Menurut Cevi, siapa yang berhak menyandang gelar Sultan Banjar sudah ditentukan sejak dahulu kala, jauh sebelum dirinya dinobatkan secara terbuka oleh Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon pada Selasa (6/5) lalu. “Itu dicatatkan dalam surat wasiat raja-raja terdahulu, hingga sampai ke tangan ibu saya,” tegasnya.
dipastikannya tidak tepat. “Karena sejak dulu sudah ada dituliskan bahwa penerus Kesultanan Banjar adalah dari keturunan Pangeran Hidayatullah yang tidak lain adalah pedatuan Ulun (saya, red),” sebutnya.
Selain surat wasiat, Cevi mengklaim juga punya banyak bukti lain yang saat ini dipegang. Salah satunya keris simbol Raja Banjar. “Saya ingat betul apa yang disampaikan ibu sebelum meninggal dunia. Beliau menyebutkan bahwa gelar titah untuk memimpin Kesultanan Banjar itu diturunkan ke saya,” ujarnya.
Menurut Cevi, jika ada yang mempermasalahkan kenapa penerus tahta tersebut sampai ke sang ibu, Cevi menyebut bahwa tidak ada batasan bahwa yang memimpin Kesultanan Banjar tidak boleh dari perempuan. “Jangan heran, karena di awal berdirinya Kerajaan Banjar, pemimpin pertamanya adalah Ratu Junjung Buih. Sehingga tidak ada yang aneh jika surat wasiat dan simbol ‘Sultan Banjar’ itu sampai ke ibu saya,” tukasnya.
Tidak hanya itu, penobatannya sebagai Raja Kebudayaan Banjar Kalimantan pekan lalu, itu juga sudah melalui riset dan pengkajian oleh Kementerian Kebudayaan, hingga akhirnya dinobatkan secara paten oleh Menteri Fadli Zon. “Penobatan kemarin adalah yang pertama kali di Indonesia. Karena baru Kesultanan Banjar (versi Cevi, red) yang dikukuhkan langsung oleh pemerintah,” tuturnya. “Jadi tidak betul kalau Kesultanan Banjar itu pernah terpecah belah hanya gara-gara berebut tahta,” bantahnya.
Seperti diberitakan harian ini sebelumnya, penobatan Cevi Yusuf Isnendar sebagai Raja Kebudayaan Banjar mendapat penolakan Kesultanan Banjar, berupa surat keberatan ditandatangani oleh 13 adipati/pejabat adipati.
Dalam poin kelima surat keberatan tersebut, mereka juga menuliskan catatan sejarah Kesultanan Banjar. Sultan Adam Al-Watsiqubillah memang berwasiat bahwa Pangeran Hidayatullah adalah penggantinya. Namun akibat campur tangan Belanda, wasiat tersebut diabaikan dan tidak dijalankan karena pihak Belanda menghendaki Pangeran Tamjidillah II sebagai Sultan Banjar (memerintah tahun 1857–1859).