Kisah penertiban yang seharusnya sederhana berubah menjadi polemik panas di media sosial. Mahrus Ali (35), seorang pedagang es di Jalan Pelita, Sungai Pinang, akhirnya harus berhadapan dengan meja hijau setelah melanggar Peraturan Daerah (Perda), Nomor 19 Tahun 2001 tentang pengaturan dan pembinaan PKL.
Dalam sidang tindak pidana ringan (tipiring) yang digelar di Pengadilan Negeri Samarinda, Kamis (13/3) pagi, Mahrus dinyatakan bersalah oleh majelis hakim yang dipimpin Elin Pujiastuti.
Baca Juga: Pengamat Kritik Rencana Gubernur Urai Antrian BBM, Sarankan Gubernur Nyamar Jadi Masyarakat
Keputusan sidang, Mahrus dijatuhi hukuman denda sebesar Rp 100 ribu dan membayar biaya perkara Rp 5 ribu. Namun, dibalik angka yang tampak kecil itu, ada rentetan peristiwa yang menyulut pro dan kontra.
Mahrus Ali bukan pertama kali diperingatkan. Sebagai pedagang kaki lima, ia kerap berjualan di atas parit, tempat yang jelas-jelas dilarang oleh aturan kota. Satpol PP telah beberapa kali menegurnya, namun peringatan itu seperti angin lalu. Hingga akhirnya, tindakan tegas diambil pada Rabu (5/3) yang lalu.
Dalam razia terbaru, petugas menyita beberapa butir kelapa yang ditempatkan di atas parit. Langkah ini dilakukan bukan tanpa alasan. Selain mengganggu estetika kota, sampah kelapa yang masuk ke dalam saluran air bisa menyebabkan penyumbatan dan berkontribusi pada banjir saat hujan deras.
"Kami sudah berkali-kali memberikan peringatan, tapi tetap saja diabaikan. Tidak ada pilihan lain selain bertindak tegas," ujar Kepala Satpol PP Samarinda, Anis Siswantini.
Namun, yang terjadi setelah razia justru lebih mengejutkan. Tak lama setelah razia, sebuah video rekaman CCTV mulai beredar luas di media sosial. Dalam video itu, terlihat petugas Satpol PP membawa kelapa hasil sitaan.
Potongan video ini memancing reaksi keras dari netizen. Tuduhan pun bermunculan—mulai dari anggapan bahwa Satpol PP bertindak semena-mena hingga fitnah bahwa petugas mengambil kelapa untuk berbuka puasa.
"Kasihan anggota kami yang difitnah sebagai pencuri. Kami hanya menjalankan tugas untuk menjaga ketertiban kota. Kalau dibilang sakit hati, tentu kami merasa sakit hati. Netizen tidak tahu kejadian sebenarnya," ucap Anis dengan nada kesal.
Polemik ini menjadi pukulan bagi Satpol PP. Alih-alih mendapat apresiasi karena menegakkan aturan, mereka justru dihujani kritik dan cemoohan. Saat Mahrus Ali akhirnya disidangkan, putusan hakim terbilang ringan—denda Rp 100 ribu. Jumlah ini dianggap sangat kecil oleh pihak Satpol PP.
"Keputusan hakim tetap harus kami hormati. Tapi jujur, saya kecewa. Denda segitu terlalu kecil. Beberapa jam berjualan saja sudah bisa dapat uang sebanyak itu," ujar Anis dengan ekspresi kecewa.
Namun, Mahrus Ali sendiri menerima putusan ini dengan lapang dada. Ia mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas beredarnya video yang telah menimbulkan kesalahpahaman. "Saya tidak ada niat membuat video itu viral. Kelapa yang disita juga masih ada di kantor Satpol PP, saya hanya belum sempat mengambilnya. Saya minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi," ungkapnya.
Kasus Mahrus Ali bukan sekadar tentang denda atau kelapa yang disita. Ini adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi dalam menegakkan aturan di tengah masyarakat. Ketika aparat mencoba menertibkan, ada sebagian yang merasa dizalimi. Ketika sebuah video beredar, bisa saja konteksnya hilang, dan publik pun cepat menghakimi.