Sampah yang memiliki nilai ekonomis, seperti plastik, bisa dijual untuk menghasilkan uang. Sementara itu, residu yang tidak bisa didaur ulang akan dibakar dalam incinerator, dan hasilnya berupa abu yang bisa digunakan sebagai bahan campuran untuk paving block.
Baca Juga: DPMK Berau Dorong Ketahanan Pangan, Optimalkan lewat BUMK
Dibebernya, biaya untuk membangun fasilitas incinerator dan membeli alatnya sekitar Rp 500 juta. Untuk mengoperasikan alat ini diperlukan tiga orang sebagai operator.
“Kami akan mengundang kepala kampung dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup untuk melakukan sosialisasi terkait penggunaan incinerator ini," terangnya.
Dirinya berharap setiap kampung bisa memiliki alat ini, karena masalah sampah terlalu besar jika hanya mengandalkan DLHK.
Inovasi ini merupakan langkah maju dalam mengelola sampah secara ramah lingkungan.
Dengan melibatkan seluruh pihak, termasuk kepala kampung dan masyarakat, diharapkan pengelolaan sampah di setiap kampung dapat berjalan dengan baik.
Mustakim menekankan, pentingnya pemilahan sampah sebelum dimasukkan ke dalam incinerator, untuk memastikan hanya sampah yang tidak bisa didaur ulang yang masuk ke dalam alat pembakar.
“Pemilahan sampah adalah kunci utama. Dengan adanya incinerator ini, kami berharap masalah sampah di Berau bisa diselesaikan secara lebih efisien dan berkelanjutan,” tuturnya. (aja/far)