Direktur Pontianak Institute (Point) Martin Gilang perusakan hutan di Kalbar dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya peraturan pemerintah yang berubah-ubah, ketersediaan lahan yang selalu tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat, pembukaan lahan di atas lahan gambut, pembukaan lahan di areal hutan sekunder, sehingga menyebabkan deforestasi, dan tata kelola lahan yang tidak sesuai dengan peraturan.
Menurutnya, regulasi yang berubah-ubah serta tumpang tindih lahan merupakan dua masalah utama yang menghambat implementasi tata kelola hutan yang baik di Kalimantan Barat. “Peraturan pemerintah yang kerap berubah, ditambah dengan ketersediaan lahan yang tumpang tindih, membuat sulit bagi perusahaan untuk sepenuhnya berkomitmen pada tata kelola hutan yang berkelanjutan,” ujar Gilang.
Baca Juga: Ada Empat Perusahaan HTI di Kalbar Terindikasi Langgar Aturan
Beberapa perusahaan besar seperti Asia Pulp and Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Holdings Ltd (APRIL) telah menyatakan komitmen mereka terhadap kebijakan konservasi hutan. Mereka berjanji untuk tidak melakukan deforestasi dan tidak mengembangkan wilayah bernilai konservasi tinggi.
Namun, lanjut Martin, hasil pemantauan di lapangan menunjukkan bahwa masih ada pelanggaran terhadap komitmen ini. Seperti pemantauan di PT FI misalnya. Konsesi PT FI mencakup area seluas 286.770 hektare yang tersebar di Kabupaten Sanggau, Sekadau, dan Sintang. Namun, hanya 12,6% dari total konsesi yang dikelola oleh masyarakat, sehingga ruang gerak masyarakat untuk mendapatkan akses pemanfaatan hutan secara legal sangat terbatas.
“Kondisi ini menyebabkan masyarakat kesulitan untuk mengakses lahan secara sah, yang pada akhirnya memicu konflik lahan,” kata Martin. Selain itu, 26,3% dari konsesi tersebut berada di area penggunaan lain (APL), yang memerlukan evaluasi izin karena berada di luar kawasan hutan.
Menurutnya, selain masalah lingkungan, kehadiran perusahaan HTI juga menimbulkan konflik lahan dengan masyarakat sekitar. Di konsesi PT FI, masyarakat mengeluhkan kurangnya dampak ekonomi yang nyata dari kehadiran perusahaan. “Kehadiran perusahaan ini tidak membawa dampak positif bagi ekonomi lokal, malah memperburuk akses masyarakat terhadap lahan,” katanya.
Kemudian, PT MP. Berdasarkan analisis citra satelit pada September 2023, PT. MP telah melakukan pembukaan lahan seluas 49.953 hektare, dengan 22.150 hektare di antaranya berada di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG). “Pembukaan lahan di kawasan gambut ini sangat mengkhawatirkan, karena seharusnya fokus pada restorasi, bukan eksploitasi,” tegas Martin.
Alih-alih merestorasi gambut, perusahaan ini justru melakukan pembukaan hutan rawa sekunder yang merupakan prioritas restorasi. Demikian juga PT ATP. Perusahaan ini diketahui melakukan penanaman sebelum diberlakukannya PP Nomor 57 Tahun 2016. Namun, setelah regulasi tersebut berlaku, perusahaan masih melakukan pembukaan lahan baru seluas 431 hektare di KHG Sungai Labai-Sungai Kualan.
“Meski ada regulasi yang melarang, PT ATP tetap melanjutkan pembukaan lahan di kawasan gambut tanpa ada upaya revisi,” ungkap Martin. Terakhir, PT WHP. Pemantauan di konsesi PT WHP menemukan bahwa perusahaan ini masih memproduksi kayu dari hutan alam, dibuktikan dengan adanya tumpukan kayu bulat berdiameter 30-40 cm yang ditemukan di lapangan.
“Temuan ini mengindikasikan bahwa PT WHP masih melakukan penebangan di hutan alam, yang bertentangan dengan komitmen nol deforestasi,” jelas Martin. Dari temuan tersebut, kata Martin, menegaskan bahwa penting dilakukan evaluasi terhadap izin konsesi HTI dan penegakan komitmen untuk menjaga kelestarian hutan, khususnya di wilayah-wilayah bernilai konservasi tinggi dan area gambut yang rentan.
“Pemerintah dan perusahaan HTI diharapkan dapat bekerja sama lebih baik dalam menyelesaikan konflik lahan dan mewujudkan tata kelola hutan yang berkelanjutan,” pungkasnya. (*)