• Minggu, 21 Desember 2025

Bahasa Lokal di Perbatasan Kalbar-Malaysia Kian Terdesak

Photo Author
- Selasa, 22 Juli 2025 | 11:00 WIB
Tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) saat riset lapangan di wilayah perbatasan Jagoi Babang, Kalimantan Barat. (ISTIMEWA)
Tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) saat riset lapangan di wilayah perbatasan Jagoi Babang, Kalimantan Barat. (ISTIMEWA)

PONTIANAK - Tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggelar riset lapangan di wilayah perbatasan Jagoi Babang, Kalimantan Barat, untuk memetakan vitalitas dan sikap bahasa masyarakat lokal yang multietnis. Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei-Juni tahun 2025 di bawah koordinasi Rumah Program Budaya Berkelanjutan, dengan tujuan menakar kekuatan bahasa lokal dalam mempertahankan identitas kebangsaan di tengah kuatnya pengaruh bahasa negara tetangga, Malaysia dan Bahasa Inggris.

Baca Juga: Aliansi Kalbar Menggugat Demo Tolak Transmigrasi, Tegas Bilang Masyarakat Lokal Butuh Perhatian Nyata

“Bahasa tidak hanya alat komunikasi, tetapi juga simbol identitas bangsa. Di wilayah perbatasan, daya hidup bahasa sangat dipengaruhi oleh kontak lintas negara dan dinamika sosial,” ungkap Binar Kurniasari Febrianti, ketua tim riset dari Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN.

Riset ini menggunakan metode gabungan kuantitatif dan kualitatif, dengan pengumpulan data melalui penyebaran kuesioner dan wawancara mendalam. Objek kajian mencakup enam variabel utama: jumlah penutur, transmisi antargenerasi, sikap bahasa, kontak bahasa, latar agama, dan lokasi tempat tinggal.

Lokasi penelitian difokuskan di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, kawasan yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia. Daerah ini menjadi lokus penting karena kerap terjadi pergeseran bahasa akibat interaksi intensif dengan warga negara tetangga, baik dalam konteks perdagangan, pendidikan, maupun kehidupan sehari-hari.

“Di wilayah seperti ini, konsep dua mata uang dan dua bahasa sering hidup berdampingan. Maka, penting meneliti bagaimana bahasa lokal bertahan atau tergerus,” jelas Dedy Ari Asfar, anggota tim yang menganalisis aspek sikap bahasa dan vitalitas linguistik masyarakat.

"Bahasa lokal adalah penanda identitas kolektif. Ketika tidak lagi diwariskan, maka identitas sebagai komunitas adat pun ikut melemah," ujar Yusriadi, akademisi dari IAIN Pontianak yang turut berperan dalam penulisan dan analisis kebijakan.

Penelitian ini mengacu pada skala EGIDS (Expanded Graded Intergenerational Disruption Scale) dan indeks Grimes sebagai alat ukur daya hidup bahasa. Data diolah dengan pendekatan statistik dan didukung dengan Focus Group Discussion (FGD) bersama pemangku kepentingan.

Dari hasil analisis, tim riset akan menyusun rekomendasi kebijakan pelindungan bahasa lokal untuk disampaikan kepada pemerintah daerah dan pusat. "Rekomendasi tersebut mencakup kampanye kesadaran bahasa, dokumentasi linguistik, serta pengembangan bahan ajar lokal," ujar Santi Yulianty yang berperan mengolah data statistik lapangan.

Bahasa lokal bukan hanya persoalan linguistik, melainkan juga bagian dari strategi diplomasi kebudayaan. Dalam konteks hubungan Indonesia–Malaysia yang sering diwarnai klaim budaya, bahasa daerah di perbatasan bisa menjadi alat peneguh kedaulatan identitas.

“Wilayah perbatasan adalah beranda terdepan negara. Jika bahasa mereka punah maka identitas kita ikut terkikis,” tandas Syarifah Lubna anggota tim yang juga terlibat dalam penelitian ini berusaha menambahkan.

"Tim berharap, hasil riset ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah, LSM, lembaga adat, dan institusi pendidikan untuk merancang program pelestarian bahasa dan budaya di wilayah perbatasan sebagai upaya strategis menjaga keutuhan bangsa," harap Irmayani anggota tim yang juga mengobservasi masyarakat di Jagoi Babang.

Catatan awal tim peneliti mengungkapkan bahwa di Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, menunjukkan bahwa bahasa Bidayuh mendominasi berbagai domain sosial, termasuk rumah tangga, pasar, hingga interaksi lintas batas. Menariknya, masyarakat setempat secara aktif memilih bahasa sesuai konteks untuk menegosiasikan identitas dan membangun relasi sosial serta ekonomi dengan komunitas di Malaysia.

“Bahasa lokal memberikan akses sosial yang lebih luas. Misalnya, menggunakan bahasa Bidayuh saat berdagang bisa menurunkan harga atau mencairkan suasana,” ungkap Imron Muttaqin memaparkan catatan lapangannya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Sumber: Pontianak Post

Rekomendasi

Terkini

X