Muhammad Ghalib alias Alif putus sekolah saat kelas 2 SD. Akibatnya ia tidak bisa membaca dan menulis. Alif tinggal di Desa Nateh, Kecamatan Batang Alai Timur, Hulu Sungai Tengah (HST).
Alif lahir dari keluarga sederhana. Anak ke-7. Sejak usia 15 tahun, Alif sudah mandiri. Bekerja dan mencari penghasilan untuk kebutuhan hari-hari. Seperti menjadi pemandu wisata dan mengelola tempat wisata di Desa Nateh.
Tak terhitung berapa pelancong yang sudah diantarnya menyusuri sungai, memasuki goa, dan menaiki pegunungan. "Biasanya diberi upah Rp100-200 ribu," ceritanya, Rabu (14/8). Kunjungan wisata mulai berkurang saat ini. Bahkan tempat wisata yang dikelolanya tak lagi terawat. Saat ini, Alif berganti pekerjaan menjadi tukang angkut kayu.
"Tahun ini usianya saya menginjak 18 tahun. Jadi tidak masalah kalau bekerja berat," ungkapnya.
Sebagai pengangkut kayu, keringatnya hanya dihargai Rp40 ribu dalam sehari. Itupun belum tentu dalam satu pekan bekerja penuh. "Seminggu bisa tiga kali saja," jelasnya.
Sebenarnya masih ada kesempatan untuk Alif meneruskan pendidikan lewat jalur paket A, B dan C. Namun, Alif mengaku tak ada niat untuk melakukan hal tersebut. Ia lebih memilih bekerja ketimbang mengambil peluang untuk bersekolah lagi.
"Tak ada kepikiran sekolah lagi," ungkapnya. Selain tak ada keinginan sekolah lagi, faktor lingkungan juga sangat memengaruhi kehidupan Alif. Dari pengakuannya banyak teman-teman yang ada di sekitarnya juga putus sekolah, dan tak mau melanjutkan jenjang pendidikan.
Jika dilihat dari letak geografis, Desa Nateh memang berada di kaki pegunungan Meratus. Dari pusat kota Barabai perlu waktu sekitar 30-40 menit untuk sampai ke sana. Akses internet juga terbatas, hanya beberapa jaringan provider saja yang tersedia.
Namun di Desa Nateh sudah tersedia sekolah dari jenjang SD-SMP. Hanya SMA saja yang letaknya cukup jauh. "Sudah beda desa, letaknya di Desa Batu Tangga," bebernya.
Alif hanyalah salah satu contoh anak tidak sekolah di Kalsel. Data Kemendibudristek menunjukkan per tanggal 22 September 2024, di Kalsel tercatat ada 68.635 kasus anak tidak sekolah.
Beda lagi yang dialami Mifta (14) asal Sungai Rangas Kabupaten Banjar. Perempuan berwajah jelita ini memilih putus sekolah karena rasa traumatik akibat bullying. Itu dialaminya saat berada di bangku kelas 7 SMP. "Awalnya saya sekolah, cuma karena ada masalah, jadi memutuskan untuk berhenti saja," ucap Mifta, Minggu (11/8).
Dalam lubuk hati Mifta sendiri, masih terbesit keinginannya untuk melanjutkan sekolah. Apalagi kini hanya berdiam diri saja di rumah, dan tak bekerja. "Orang tua saya cerai, sekarang saya tinggal bersama mamah dan ayah tiri. Kalau buat jajan, kadang minta dengan mamah, itupun kalau ada uangnya," ucap perempuan kelahiran 2010 ini.
"Saya masih ingin sekolah sebenarnya, cuma orang tua saya takut akan terulang lagi, karena saya pernah jadi korban bullying. Selain itu juga kalau berangkat sekolah juga tak ada transportasinya, jadi ya mau bagaimana lagi," ucapnya pasrah.
Mifta bercerita menjadi korban bullying secara verbal oleh teman-teman seangkatannya. Kejadiannya itu tahun 2023 lalu. Awalnya baik-baik aja. Entah gara-gara masalah apa, teman-teman satu kelas pada sinis dan menyindirnya macam-macam. “Enggak ada yang mau berteman dengan saya. Saya enggak tahan diperlakukan begitu, jadinya milih untuk berhenti sekolah," tutur Mifta.
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Sumber: Radar Banjarbaru