Apakah pihak sekolah mengetahui perlakuan tak mengenakan tersebut? Mifta menyebut guru sudah mengetahui, dan hanya menyuruhnya untuk bersabar. "Cuma saya sudah tidak tahan lagi, karena sudah dari SD kena bully,” ungkapnya.
Waktu itu juga Mifta tidak melawan. “Saya ajak komunikasi baik-baik. Tapi waktu saya sudah berhenti sekolah, mereka pun masih ada yang mengejek, bahkan di depan umum," sebutnya.
Sudah Mengupayakan Penanganan
Anak Tidak Sekolah (ATS) dibagi menjadi tiga klasifikasi. Anak Belum Pernah Bersekolah (BPB), drop out (DO), atau Lulus Tidak Melanjutkan (LTM). Rentan usianya dari 7-18 tahun. Jika ditinjau dari klasifikasi tersebut, Alif maupun Mifta masuk di kategori anak drop out (DO) atau putus sekolah tanpa menyelesaikan jenjang pendidikannya.
Tentu kasus seperti ini menjadi perhatian serius Dinas Pendidikan Hulu Sungai Tengah (HST). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengentaskan permasalahan tersebut. Ada beberapa kegiatan yang telah dilakukan di HST.
Seperti menggelar FGD lintas sektor, verval data, dan koordinasi dengan pondok pesantren yang belum memiliki satpen formal atau non formal.
Data dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), angka ATS di HST terus menurun dalam beberapa bulan. Walaupun penuruannya tidak signifikan.
Pada tanggal 6 Agustus 2024, ada 4.418 kasus. Kemudian pada tanggal 22 September 2024 menjadi 4.353 kasus.
Lalu apa faktor penyebab banyaknya ATS? "Anak di wilayah 3T, anak bekerja, anak disabilitas, anak jalanan dan korban penelantaran, anak berkonflik dengan hukum dan perkawinan anak di bawah umur," kata Kadisdik HST, Muhammad Anhar.
Pihaknya sudah merumuskan beberapa strategi untuk menangani kasus ATS. Ada dua cara yang akan dilaksanakan.
Pertama, strategi pencegahan untuk mencegah anak-anak putus sekolah atau tidak bersekolah. Kedua, strategi intervensi untuk mengembalikan anak-anak ATS ke jalur pendidikan. "Untuk pencegahan upayanya seperti peningkatan akses dan kualitas pendidikan, program sosial, sosialisasi, hingga memantau anak yang rentan putus sekolah," bebernya.
Sementara untuk intervensinya, dilakukan dengan identifikasi dan pendataan ATS, penelusuran dan pendekatan persuasif, program pendidikan alternatif, pemberian beasiswa dan bantuan lainnya, serta pelibatan berbagai pihak. “Penanganan ATS ini memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, keluarga, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat,” tegasnya.
Dinas Pendidikan Kota Banjarbaru telah melakukan uji langsung ke lapangan untuk mengetahui penyebab anak putus sekolah. Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Banjarbaru, Dedy Sutoyo menyebut salah satu faktornya karena persoalan di rumah. “Rata-rata anak broken home, akibat perceraian kedua orang tuanya. Bingung memilih ikut siapa, akhirnya memilih tidak sekolah,” kata Dedy Sutoyo.
Menurutnya, di ibu kota Provinsi Kalsel ini faktor utama anak putus sekolah didominasi terjadi di kalangan middle up. Itu membedakan dengan di desa yang cenderung didominasi karena faktor ekonomi.
Di perkotaan bisa lebih kompleks permasalahannya. Contohnya, ketika anak merasa tidak cocok berada di sekolah itu, akhirnya memilih tidak mau sekolah lagi. Dedy menegaskan idealnya tidak ada anak seharusnya yang tidak sekolah. “Mereka dapat dana BOS, iuran sekolah dimurahkan, kalau tidak mampu bisa mengajukan PKH atau program keluarga harapan. Jadi tidak ada alasannya tidak sekolah,” tegasnya.
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Sumber: Radar Banjarbaru