Sumber kedua Radar Banjarmasin adalah seorang pegawai FH ULM. Dia termasuk satu dari sekian banyak "orang dalam" yang harus bolak-balik menjalani pemeriksaan. Dia tak sepakat dengan kesimpulan investigasi Tempo bahwa skandal guru besar ini gara-gara jurnal predator. "Saya berkirim email ke Scopus. Jawabannya, artikel-artikel para guru besar itu terindeks dalam Scopus," ujarnya.
Scopus adalah database jurnal bereputasi internasional. Salah satu syarat menjadi guru besar adalah minimal memiliki satu artikel di jurnal bereputasi internasional. Terbit sebagai penulis nama pertama. Jika bukan jurnal predator, lantas apa masalahnya? Ia melihat terjadi pelanggaran administrasi. ULM melabrak prosedur promosi guru besar.
Dalam sebuah konferensi pers, Juli lalu, Ketua Senat ULM, Prof Hadin Muhjad menyatakan tidak mengetahui tanda tangan digitalnya dipakai untuk pengusulan calon-calon guru besar tersebut.
Prosedurnya, seorang dosen mengajukan promosi guru besar kepada fakultas. Lalu fakultas memproses dan meneruskan ke universitas. Senat kemudian rapat membahasnya. Jika semua syarat terpenuhi, maka bisa diteruskan ke kementerian.
"Masalahnya, senat sudah lama tidak rapat. Setahu kami, setelah pandemi covid tidak ada lagi rapat senat," ujarnya.
Itu pula yang memicu investigasi lanjutan. Pada waktu bersamaan, ketika puluhan guru besar ULM diperiksa, anggota senat ULM juga sedang menjalani pemeriksaan. Baik di Jakarta maupun di Banjarmasin dan Banjarbaru.
Dalam daftar nama tersebut, ada nama Prof Hadin. "Mereka (para anggota senat) telah dijatuhi sanksi sedang," bebernya. Jadi, skandal guru besar abal-abal ini berawal dari program percepatan yang bablas. Sumber ini khawatir, rekan-rekannya yang bekerja di bagian kepegawaian ULM bakal dijadikan kambing hitam.
Gelagat cuci tangan itu sudah tampak. "Padahal mereka juga berada di bawah tekanan," katanya. Radar Banjarmasin mendapat bocoran surat "pembelaan diri" yang ditulis Kasubbag Pendidik, Hukum, dan Kepegawaian Biro Keuangan dan Umum ULM, Heru Nurhidayat Eka Putra.
Dibuat pada 5 September 2024, ditujukan kepada Inspektorat, berisi lima poin. Salah satunya terkait tekanan verbal dari para pengusul promosi guru besar. Heru cs diminta mempercepat proses pengusulan. "Pengusul sering mengatasnamakan 'pimpinan', bahwa usulan tersebut atas perintah pimpinan," tulis Heru.
Dalam surat itu, Heru mengaku siap menanggung konsekuensinya. "Aman Saja" Ketua Senat ULM, Prof Hadin Muhjad membenarkan turut dipanggil Inspektorat, tapi ia yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Oh, itu (kasus guru besar) sudah habis. Sudah aman," katanya, Senin (23/9/2024) via telepon.
Disinggung soal pernyataan terkait tanda tangan digital miliknya yang dipakai untuk rekomendasi guru besar, Hadin tak ambil pusing. "Aman saja," ujarnya. Namun, ditanya apakah betul Senat universitas sudah lama tak rapat, ia membenarkan. "Bahkan mulai zaman Pak Tarto (rektor lama)," ujarnya. Selebihnya, soal pemeriksaan 20 guru besar dan jurnal predator, Hadin mengaku tidak mengetahui. "Wah, saya tak tahu," tutupnya.
Diusir Satpam
Mengapa ULM, kampus tertua dan terbesar di Kalimantan Selatan, bisa seceroboh itu. Mengacu SK rektor, tim percepatan itu diisi oleh anggota Senat universitas. Rangkap jabatan itu membuat Rektorat menggampangkan prosedur. Beranggapan bahwa tanpa rapat Senat pun tak apa-apa. Toh orangnya itu-itu juga.
Tim ini dibebani target ambisius. Memproduksi 200 guru besar dalam kurun waktu empat tahun. Salah satu anggota tim percepatan diperiksa di BPMP Banjarbaru pada Selasa (17/9/2024). Radar Banjarmasin mencegatnya ketika keluar dari ruangan. "Maaf, saya tidak bisa ngasih info detail. Ini rahasia negara," ujarnya.
Ditanya apakah ia termasuk dalam 20 guru besar yang diperiksa itu, ia membantah. "Bukan. Gelar guru besar saya kan sudah lama. Saya dipanggil sebagai anggota tim percepatan," tambahnya. "Saya diperiksa selama 1,5 jam. Saya cuma memberikan keterangan terkait hal-hal teknis menyangkut masalah di ULM."
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Sumber: Radar Banjarmasin