Setelah pelatihan tersebut, Paryono tidak langsung mencoba mempraktikkan teknologi yang ramah lingkungan dan menguntungkan tersebut.
Namun, susahnya mencari rumput untuk pakan sapi membuatnya kembali berpikir untuk mencobanya. ”Enggak langsung saya terapkan, tetapi makin bertambah tahun saya menyadari mencari rumput juga cukup susah dan saya pikir tidak ada salahnya saya mencoba teknik tersebut,” ujarnya.
Sejak 2015 itulah dia memanfaatkan pelepah sawit dan campuran lainnya untuk membuat pakan sapi dari limbah sawit.
”Saya juga kebetulan punya kebun kelapa sawit lebih dari tiga hektare. Dari limbah sawit itulah saya kelola menjadi pakan ternak sapi,” ujarnya.
Tak sampai di situ, dia juga memanfaatkan kotoran sapi menjadi pupuk kompos dan air kencing sapi menjadi bio urin atau pupuk cair yang digunakan sebagai pupuk di kebun sawitnya serta tanaman lainnya.
”Hasil dari limbah sawit ini apabila dikelola menjadi pakan ternak juga aman, karena ada berbagai campuran yang kami tambahkan untuk menambah daya tahan tubuhnya agar sehat dan gemuk seperti sapi yang terawat,” ujarnya.
Di samping itu, menurutnya, pakan dari limbah sawit juga tak menimbulkan bau yang tidak nyaman.
”Justru saya bisa membandingkan dengan menggunakan limbah sawit sebagai pakan sapi. Kotoran sapinya tidak berbau, padahal saya tinggal di permukiman padat penduduk, tetapi memang tidak berbau,” ujarnya.
Akhir tahun 2015, dia mencoba program baru bernama bio industri dan sudah menjadi pelaku mandiri.
”Bio industri ini saya coba kembangkan menjadi biogas dari kotoran sapi yang difermentasi untuk digunakan sebagai bahan pengganti elpiji, tetapi saya masih dibimbing BPTP,” ujarnya.
Pada 2017, dia melaunching produk pakan bernama feed complate yang terdiri dari tiga jenis produk, yakni untuk penggemukan hewan ternak, perkembangbiakan, dan untuk konsentrat atau digunakan sebagai suplemen tambahan untuk sapi.
”Produk untuk penggemukan saya jual Rp 2200 per kg, untuk perkembangbiakannya Rp 1.800 per kg, sedangkan untuk suplemen makanan tambahannya Rp 3.200 per kg,” katanya.
Dari teknologi yang sukses diterapkannya berkat bimbingan BPTP Kalteng tersebut, menjadikannya petani sukses pada pekan daerah Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) tingkat Provinsi Kalteng yang dilaksanakan di Kotim pada Juli 2019 lalu.
Hasil karyanya diperhitungkan dan layak untuk diteladani petani lainnya untuk memanfaatkan limbah sawit menjadi pakan ternak sapi.
”Awalnya kami mendapatkan peringkat lima besar, kemudian pada peringatan 17 Agustus 2019 lalu kita diberitahu kita dari Kotim masuk juara umum mewakili Provinsi Kalteng tetapi belum diumumkan juara 1, 2, dan 3-nya. Setelah diumumkan, kami (Kotim) meraih juara II dan menjadi tuan rumah terbaik dalam pelaksanaan KTNA yang dilaksanakan di Kotim Juni lalu,” ujarnya.