“Karena itulah perlu dilakukan studi untuk berusaha mengungkap kembali peran Fatimah dalam penulisan kitab Parukunan Melayu,” tulis Saifuddin.
Melalui penelusuran historis dan dokumenter diperoleh data yang lebih meyakinkan bahwa kitab tersebut ditulis oleh Fatimah yakni pemikiran dalam bidang tauhid dan fikih.
Pemikiran Fatimah di bidang tauhid secara jelas mengikuti paham Aswaja, terutama Asy’ariyah, yang meliputi: percaya kepada Allah; percaya kepada para malaikat-Nya; percaya kepada kitab-kitab-Nya; percaya kepada para pesuruh-Nya; percaya kepada Hari Kemudian; percaya kepada untung baik dan buruk dari Allah SWT.
Sedangkan pemikirannya bidang fikih mengikuti mazhab Syafi‘i, yang meliputi: hukum air; najis dan cara menghilangkannya; hukum buang air dan istinja; suatu yang mewajibkan mandi, fardu mandi, sunah, dan makruhnya; syarat mengambil air salat, sunah, dan makruhnya; syarat salat; tata cara salat; suatu yang membatalkan salat dan yang makruhnya; salat sunah; salat qasar dan jamak; syarat hukum puasa; syarat wajib puasa Ramadan; suatu yang mengharuskan berbuka puasa; sunah puasa; jimak di bulan Ramadan; puasa sunah; dan lain-lain.
Namun, dalam studi yang dilakukan pada tahun 2010, Saifuddin belum mendapat jawaban pasti mengapa Fatimah mengatasnamakan karyanya kepada sang Mufti Jamaluddin.
Terlahir dari Keluarga Ulama
Fathimah binti Abdul Wahab Bugis lahir di Martapura, Kalimatan Selatan, pada tahun 1775 M. Ia hidup di tengah keluarga yang terdidik.
Kakeknya, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari adalah salah seorang ulama terkenal di Nusantara.
Sejarawan Kalsel, Mursalin menceritakan dalam hikayat sejarah, Fatimah Al-Banjari merupakan anak dari hasil perkawinan Syekh Abdul Wahab Bugis dengan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Fatimah ini, kata Mursalin, dikenal sebagai murid sekaligus cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang paling cerdas.
“Dia (Fatimah) dididik langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad. Dari kakeknya inilah ia belajar berbagai cabang disiplin ilmu, termasuk bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadis, ushuluddin, dan fikih,” ujar Mursalin
Setelah menguasai berbagai cabang disiplin ilmu, Fatimah beserta ibunya, Syarifah, diberi izin untuk mengajar agama bagi santri perempuan di Dalam Pagar.
Sedangkan saudaranya, Muhammad As’ad diangkat sebagai guru bagi santri laki-laki. Fatimah bersama Muhammad Asad dikenal sebagai ‘bunga ilmu’ tanah Banjar.
Di samping itu, Fatimah juga dikenal sebagai penulis yang kompeten.
Selain dari kakeknya yang terkenal alim dan merupakan salah seorang tokoh ulama Melayu-Nusantara, Fatimah binti Abdul Wahab Bugis juga mewarisi ilmu-ilmu keislaman dari bapaknya yang merupakan ulama besar dan ternama.
Namun, Fatimah tidak bisa terlalu lama berguru kepada sang ayah, karena Syekh Abdul Wahab Bugis meninggal dunia pada tahun 1786 M, ketika Fatimah berusia sekitar 11 tahun.
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Sumber: Radar Banjarmasin