• Senin, 22 Desember 2025

Perayaan Hari Santri: Mengenang Sosok Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis, Pionir Pendidikan Santri Perempuan di Kalsel

Photo Author
- Selasa, 22 Oktober 2024 | 09:56 WIB
ilustrasi
ilustrasi

Dalam perkembangan selanjutnya Fatimah lebih banyak dididik oleh kakeknya, yakni Datu Kelampayan.

Dari sanalah nama Fatimah mulai mencuat karena dinilai sangat baik dalam berbagai cabang disiplin ilmu agama.

“Bahkan bisa dikatakan sebagai tonggak penting bagi munculnya para ulama di wilayah Kalimantan,” kata Mursalin.

Puncaknya, Fatimah disebutkan oleh banyak ulama dan peneliti telah menulis sebuah kitab kuning berbahasa Melayu-Banjar, dengan aksara Arab Melayu yang berjudul Parukunan Melayu atau Parukunan Jamâluddîn.

Kitab ini secara umum membahas tentang dasar-dasar rukun Islam (fikih) dan rukun iman (tauhid).

Pembahasannya cukup singkat dan hanya menyajikan beberapa ajaran pokok seputar hukum air, najis dan cara menghilangkannya, buang air besar atau kecil dan istinja, mandi wajib, wudu, hukum salat, hukum puasa, cara mengurus jenazah, dan seterusnya.

“Memang ada perbedaan pendapat terkait siapa pengarang kitab ini. Namun, berdasarkan penelusuran sumber data yang ada, hampir dapat dipastikan bahwa Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis adalah penulis kitab Parukunan Melayu,” jelas Mursalin.

Data tersebut didapat dari kitab karya Syekh Abd al-Rahman Shiddiq (1857-1939 M), Syajarat al-Arsyadiyyah.

“Di sana telah memberikan informasi yang lebih meyakinkan bahwa kitab Parukunan Melayu merupakan karya Fatimah binti Abdul Wahab Bugis, namun dalam penerbitannya kitab ini diatasnamakan pamannya sendiri (Mufti Jamaluddin),” ujar Mursalin.

Syekh Abd al-Rahman Shiddiq adalah ulama besar keturunan Syekh Muhammad Arsyad yang pernah menjadi mufti di Kerajaan Indragiri Riau.

Ia dilahirkan pada 1857 M, di kampung Dalam Pagar, Martapura pada akhir masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billâh (1825-1857 M).

Selain itu, hal lain yang mendukung bahwa Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis adalah pengarang Kitab Parukunan Jamaluddin juga dikarenakan kondisi sosial, politik, dan budaya masyarakat pada masa itu.

“Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis menuliskan karyanya di tengah budaya patriarki yang cukup kuat,” tukas Mursalin.

Sehingga pada masa itu bukanlah hal yang lazim jika sebuah kitab keagamaan ditulis oleh seorang ulama perempuan.

Dalam situasi itu, penyebutan Fatimah sebagai penulis kitab Parukunan Melayu jelas bukan suatu yang mengada-ada. Melainkan untuk melaporkan apa yang benar-benar terjadi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Sumber: Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kabupaten Banjar Sumbang Kasus HIV Tertinggi di Kalsel

Jumat, 12 Desember 2025 | 11:10 WIB
X