Mereka hidup di dunia nyata, pikir si perempuan, di mana bulan adalah benda langit berukuran sangat besar dan berjarak jutaan kilometer dari bumi dan bukannya sebutir bola bercahaya yang bisa digenggam seperti dalam cerita dongeng yang penuh fantasi.
Dan itu membuat si perempuan tenang.
Malam itu, ia kembali berdiri di pinggir jendela. Ia menatap bulan bulat yang menggantung di langit tinggi. Bulan yang indah.
Bulan yang seperti tersenyum kepadanya.
Bulan yang pucat.
Tunggu… si perempuan tersentak dari tempatnya berdiri. Bulan itu semakin pucat. Dan bulan itu bergoyang. Benar-benar bergoyang.
Si perempuan memicingkan mata untuk melihat lebih jelas. Dan ia melihat satu siluet bergerak-gerak meraih bulan. Siluet itu menggoyang-goyangkan bulan. Siluet itu menarik bulan. Siluet itu berusaha memetik bulan.
“Apa yang terjadi?” si perempuan menjerit.
Ia mengucek-ngucek mata untuk memastikan bahwa matanya baik-baik saja. Ia kembali memicingkan mata dan melihat lebih saksama.
Dan ia kembali menjerit.
Ia tahu itu siluet si lelaki.
“Ini tidak mungkin terjadi,” pikir si perempuan dengan gelisah. “Hal seperti ini mustahil terjadi.”
Ia mondar-mandir dan berkali-kali memeriksa bulan di langit tinggi. Dan kian lama, bulan bergoyang kian kencang. Lantas pada satu titik, bulan benar-benar jatuh.
“Ia benar-benar mengambilnya!” si perempuan kembali menjerit.Dan langit benar-benar gelap.
Tak berapa lama kemudian, si perempuan mendengar suara ketukan dari pintu rumahnya. Si perempuan meremas-remas tangannya sendiri. “Itu pasti dia,” pikirnya. “Dan aku tidak punya alasan lagi menolaknya.”