“Aku tidak boleh membuka pintu,” si perempuan meyakinkan dirinya sendiri.Namun bagaimana pun, ia membuka pintu.
Dan di sanalah ia menemukan si lelaki berdiri dengan genggaman tangan yang bercahaya dan mulut yang tersenyum.
“Seperti yang kau minta,” kata si lelaki. “Aku membawakan bulan untukmu.”
Si lelaki mengulurkan tangan. Dan si perempuan, meski enggan, mengulurkan tangan juga untuk menyambut uluran tangan si lelaki. Bulan itu ternyata hanya sebesar bola tenis. Cahayanya menerangi halaman rumah tersebut.
“Kita sepasang kekasih mulai sekarang,” kata si lelaki. Lantas si lelaki mengecup kening si perempuan. Dan si perempuan hanya menundukkan wajah, terpana memandang sebutir bulan di atas telapak tangannya.
Lalu persoalan menjadi lebih rumit bagi si perempuan. Dan itu bukan hanya berkaitan dengan statusnya bersama si lelaki yang kini jadi berpacaran, namun lantaran orang-orang seluruh dunia meributkan bulan yang hilang.
Awalnya, teori-teori bermunculan di media sosial. Rusia menuduh Amerika Serikat bertanggung jawab atas menghilangnya bulan, sementara Amerika Serikat menuduh Tiongkok dan Iran yang melenyapkan bulan, dan pada saat yang bersamaan, Iran menuduh Israel pelakunya.
Perang dunia ketiga sepertinya akan segera pecah.
Dan si perempuan mengikuti keributan-keributan itu semua dengan perasaan cemas.
Namun banyak pula yang meyakini alien dari Mars yang mencuri bulan.
Dan si perempuan tersenyum membaca teori tersebut.
Dan masih banyak lagi.
Si lelaki, sebagai kekasih yang baik, mengatakan kepada si perempuan bahwa semua baik-baik saja.
“Cinta,” kata si lelaki. “Lebih besar dan lebih berharga dari apapun. Bahkan jika perang dunia benar-benar pecah karena cinta kita, itu akan masih bisa diterima.”
Si perempuan mengangguk. Namun dalam hatinya, ia tahu ini bukan hal yang benar. Lagi pula, ia memang benar-benar tidak mencintai si lelaki.