Lita mencontohkan, di wilayah Kecamatan Segah dan Kelay, jumlah pabrik sawit relatif lebih banyak sehingga terjadi persaingan harga antar pabrik.
Hal ini berdampak langsung pada harga yang diterima petani.
“Kalau di Segah sudah rebutan beli sawit rakyat, jadi harga otomatis bagus. Beda dengan Biatan, yang baru punya satu pabrik. Tapi sekarang sedang dibangun satu lagi, mudah-mudahan segera rampung,” katanya.
Baca Juga: Banjir di Krayan Selatan, Lahan Sawah dan Peternakan Turut Dihantam
Disbun, kata Lita, juga mendukung penuh pihak manapun yang ingin berinvestasi membangun pabrik sawit di Berau, asalkan semua ketentuan regulasi dipenuhi.
“Kita sambut dengan tangan terbuka. Yang penting ikuti aturan yang ada, supaya investasi aman dan berkelanjutan,” tegasnya.
Terkait kemitraan, Lita menyebut, sebagian besar petani yang bermitra adalah petani plasma yang dibina langsung oleh perusahaan.
Sementara untuk petani mandiri yang belum memiliki mitra, pihaknya mendorong mereka bergabung ke dalam koperasi agar bisa menjalin kemitraan dengan pabrik.
Sebab, dengan bermitra, harga TBS dapat dibeli sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah.
Baca Juga: Proyek Jembatan Bulungan-Tarakan, Hanya Proyek Angan-Angan yang Tak Bakal Kesampaian?
“Kita fasilitasi. Tapi memang tidak mudah karena syaratnya cukup ketat. Lokasi kebun harus clear and clean, tidak boleh berada dalam kawasan hutan lindung (KBK) atau hak guna usaha (HGU). Nah, syarat ini yang kadang sulit dipenuhi koperasi,” jelasnya.
Meski begitu, dirinya optimistis ke depan akan semakin banyak petani yang bisa bermitra.
Dengan begitu, harga jual TBS akan lebih terjamin dan kesejahteraan petani pun meningkat.
“Kalau bisa nanti bukan cuma pabrik TBS saja, tapi juga pabrik pengolahan lanjutan seperti minyak goreng. Supaya nilai tambahnya lebih besar untuk daerah,” jelasnya.